Hadiah Samsudi Teu Aya deui..
Hadiah Sastera "Rancagé" 2007
Dalam tahun 2006, Yayasan Kebudayaan "Rancagé" kehilangan tiga orang pendirinya. Mula-mula dua orang anggota Dewan Pembina, yaitu Prof. Dr. H. Ayatrohaédi (meninggal 18 Februari) dan Prof. Dr. H. Édi S. Ékadjati (meninggal 1 Juni) dan kemudian Ketua Dewan Pengurus Drs. H.R. Déddi Anggadiredja MBA (meninggal 4 November). Innalillahi wa innailaihi roji'un. Semoga ketiganya mendapat ampunan Allah SWT, dosa-dosanya dihapuskan, amal perbuatannya menjadi amal yang soléh, iman Islamnya diterima dengan iklas, dan arwahnya mendapat tempat yang mulia di hadirat Allahu Robbi. Amin ya Robbal'alamin. Kepergian tiga orang pendirinya itu merupakan kehilangan besar bagi Yayasan Kebudayaan "Rancagé". Namun demikian usaha pemberian Hadiah Sastera "Rancagé", dengan bantuan berbagai pihak, insya Allah akan dapat dilanjutkan setiap tahun.
Hadiah Sastera "Rancagé" tahun 2007 adalah yang ke-19 kalinya untuk sastera Sunda, yang ke-14 kalinya untuk sastera Jawa dan yang ke-10 kalinya untuk sastera Bali. Untuk setiap bahasa disediakan dua macam hadiah, yaitu untuk karya yang diberikan kepada pengarang buku yang dianggap terbaik yang terbit tahun sebelumnya (2006) dan untuk jasa yaitu bagi orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya bagi perkembangan bahasa ibu yang bersangkutan. Kalau ada yang terbit, disediakan pula Hadiah "Samsudi" bagi pengarang buku bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda.
Dalam tahun 2006, penerbitan buku dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali lebih marak daripada tahun-tahun sebelumnya. Dalam bahasa Sunda ada 30 judul (tahun 2005 ada 19 judul), dalam bahasa Jawa ada 16 judul (tahun 2005 ada 6 judul) dan dalam bahasa Bali ada 17 judul (tahun 2005 ada 5 judul). Mudah-mudahan kecenderungan kian banyaknya jumlah buku dalam bahasa ibu yang diterbitkan akan terus melanjut.
Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk bahasa Sunda Ke-30 judul buku bahasa Sunda yang terbit 2006 itu bukan hanya karya sastera, tetapi tidak termasuk buku ajar. Juga tidak semuanya buku baru, banyak yang cetak ulang. Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah penerbitan Kamus Basa Sunda susunan R.A. Danadibrata yang tebalnya 760 halaman format Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus ini disusun selama kl. 40 tahun bukan oleh ahli bahasa, dan semata didorong oleh cintanya kepada bahasa ibunya. Dan setelah naskahnya selesai menunggu lebih dari 30 tahun lagi sebelum terbit. Penyusunnya tak sempat menyaksikan hasil kerjanya terbit.
Buku bahasa Sunda yang terbit tahun 2006 ternyata banyak buku agama, ada yang merupakan terjemahan kitab Barjanzi (Maulid Barzanji Sunda terjemahan H. Sjamsul Arifien terbitan Al-Ma'arif), ada yang merupakan terjemahan Surat Yaa sin yang disertai dengan tilawah dalam bentuk pupuh (Surah Yaa Siin oleh Drs. H.R. Hidayat Suryalaga, KBU), ada yang merupakan terjemahan ayat Al-Qur-an dalam bentuk nadom (Nadoman Nurul Hikmah, oleh H. R. Hidayat Suryalaga, Yayasan Nurul Hidayah), ada kumpulan khutbah Jum'ah (Aweuhan ti Paimbaran, Khutbah Jum'ah & 'Idain, oleh Anwar Azmi dkk, Pustaka Fithri), ada yang berupa surat nasihat kepada anak (Anaking Pupujan Ati oleh H. Ingka Fakkuroqobah, Yayasan Bina Muda, Cicaléngka), dan kumpulan makalah dan bahasan (Ngamumulé Budaya Sunda, Nanjeurkeun Komara Agama, Perhimpunan KB PII Jawa Barat). Maraknya penerbitan buku agama Islam dalam bahasa Sunda sangat menggembirakan karena khutbah Jum'at di masjid-masjid di Bandung dan daerah Jawa Barat lainnya kian kurang yang menggunakan bahasa Sunda. Padahal bahasa ibu lebih menyentuh kalau digunakan untuk menanamkan keimanan beragama.
Ada juga beberapa buku tentang tradisi masayarakat Sunda yang kian hilang, yaitu Sambel Jaér susunan Asép Ruhimat (PPN) dan Tatarucingan urang Sunda susunan Rachmat Taufiq Hidayat, dkk. (KBU), Nu sarimbag & Unak-anik dina Tembang Sunda susunan Apung S. Wiratmadja (PSTS). Buku-buku itu niscaya akan bermanfaat bagi mereka yang hendak mengetahui tradisi budaya Sunda yang hampir tidak dikenal lagi.
Begitu pula kumpulan tulisan almarhum Prof. Dr. H. Édi S. Ékadjati tentang tokoh-tokoh sejarah Sunda berjudul Nu Maranggung dina Sajarah Sunda (Yayasan Pusat Studi Sunda), sangat penting bagi orang-orang Sunda yang hendak mengenal tokoh-tokoh sejarahnya.
Yang istimewa ialah penerbitan UUD 1945 versi bahasa Sunda. Usaha demikian penting sekali, bukan saja karena akan memberi kesempatan bagi mereka yang kurang menguasai bahasa Indonesia untuk mengenal undang-undang dasarnya dalam bahasa ibu yang lebih dikuasainya, melainkan juga sebagai usaha mempergunakan bahasa Sunda untuk penulisan perihal hukum, artinya penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa ilmu (hukum). Seharusnya setiap undang-undang dan peraturan pemerintah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa ibu yang terdapat di seluruh Indonesia agar dimengerti dengan cermat oleh seluruh bangsa.
Sabagai suku bangsa yang terkenal suka bergurau, terbit pula dua buku kumpulan lelucon (Kéom sakedap susunan Syam Ridwan dan Dulag Nalaktak oleh Usép Romli HM, keduanya terbitan KBU).
Sedangkan buku-buku yang dapat digolongkan sebagai karya sastera yang merupakan cetak ulang ialah Béntang Pasantrén (Usép Romli, KBU), Buron (Aam Amilia, Pustaka Arnaldi), Nu Tareuneung (Ki Umbara, KBU), Silalatu Gunung Salak (6 jilid), Pasukan Siluman Haji Perwatasari (6 jilid) dan Album Carpon, ketiganya karya Aan Merdeka Permana. Seperti telah diumumkan, karya cetak ulang tidak dinilai untuk memperoleh Hadiah "Rancagé". Begitu juga karya yang merupakan kumpulan bersama. Yang berupa kumpulan bersama itu ialah Néangan Bulan (Mencari Bulan) karya Chyé Rétty Isnéndés dkk, Surat keur Bandung karya Asép Zamzan Noor dkk, dan Mangsi Asih Kalam Tresna (Tinta Kasih Kalam Cinta) oleh Aam Amilia dkk.
Maka yang tahun ini dinilai untuk memperoleh Hadiah "Rancagé" 2007 ialah Lagu Liwung Urang Bandung kumpulan guguritan Apung S. Wiratmadja (KBU), Rambut Kasih (9 jilid) dan Keroncong ti Kutoarjo karya Aan Merdéka Permana (diterbitkan secara pribadi) dan Oleh-oleh Pertempuran kumpulan cerita pendek Rukmana HS (KBU). Lagu Liwung Urang Bandung (Lagu duka orang Bandung) adalah kumpulan dangding yang dapat dinyanyikan dengan lagu pupuh Tembang Sunda, isinya terutama mengenai kota Bandung, baik pujian maupun gambaran kritis mengenai keadaannya sekarang. Tetapi tak ada yang mendalam, hanya sekedar sentuhan selewat saja.
Cerita-cerita pendek Aan Merdeka Permana dalam Keroncong ti Kutoarjo (Keroncong dari Kutoarjo) merupakan sketsa dan cerita yang bersifat anekdotis yang ringan. Begitu juga cerita Rambut Kasih yang berjilid-jilid itu, merupakan cerita fantasi yang dibangun dengan latar belakang sejarah, namun hanya mementingkan jalan cerita yang tidak selalu ditopang oleh data yang meyakinkan dan kedalaman tukikan kejiwaan. Pengarangnya sendiri bermaksud sekedar menyusun cerita yang akan dapat menarik minat pembaca kepada bacaan bahasa Sunda.
Cerita-cerita pendek Rukmana Hs. yang dimuat dalam Oleh-oleh Pertempuran menarik, karena dalam bahasa Sunda jarang ada cerita yang berlatar belakangkan revolusi kemerdekaan (1945-1949). Meskipun pada masa revolusi, pengarangnya baru berusia 10-14 tahun, namun karena sedikit banyak terlibat juga dalam perjuangan fisik, di samping banyak bergaul dengan tentara, maka cerita-ceritanya walaupun merupakan hasil imajinasi belaka, terasa meyakinkan. Di dalamnya, Rukmana juga mengetengahkan berbagai peristiwa historis yang selama ini hanya beredar secara lisan dengan latar yang wajar, seperti kiriman kosmetik kepada para pemuda Bandung dari para pemuda Surabaya yang mengejek karena dianggap tidak terjun berjuang, tetapi dibalas oleh para pemuda Bandung dengan mengirimkan kepala Gurkha. Ada pula yang mengisahkan tentara Jepang yang setelah Kaisarnya bertekuk-lutut kepada Sekutu, tidak mau pulang ke negerinya, tetapi terus berjuang di pihak Indonesia melawan Belanda, merasa menjadi orang Sunda. Tragedi yang dialami oleh anggota TNI yang pada waktu pulang long march berpisah dengan isteri yang disangka tewas karena jembatan yang sedang dilintasinya dihancurkan oleh bom musuh, dilukiskan begitu hidup. Juga tentang pemberontakan Madiun yang melibatkan para prajurit TNI untuk menumpasnya, terdapat dalam cerita Rukmana.
Cerita-cerita Rukmana berhasil menghidupkan kembali peristiwa sejarah orang-orang Sunda di Jawa Barat dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan tanah airnya baik pada masa pendudukan Jepang maupun pada masa perang kemerdekaan melawan tentara Belanda yang hendak menjajah kembali. Penggunaan istilah-istilah yang dipakai pada masa itu menyebabkan ceritanya kian hidup.Dengan demikian, Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk karya dalam bahasa Sunda dianggap patut diberikan kepada pengarangOleh-oleh Pertempuran Kumpulan cerita pendek Rukmana Hs.(lahir di Sumedang, 24 Oktober 1935)Terbitan Kiblat Buku Utama (KBU)
Kepada pengarangnya akan diserahkan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk karya dalam bahasa Sunda berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan orang yang dianggap berjasa dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda ialah R. Rabindranat Hardjadibrata(lahir di Bandung 22 Oktober 1933) Sejak tahun 1964, Rabin menjadi dosen bahasa Indonesia di Departemen Bahasa Indonesia dan Malaya, Universitas Monash, Melbourne, Australia sampai pensiun (1996). Untuk mencapai gelar MA dia menulis tesis di Universitas Monash berjudul Sundanese: a Syntactical Analysis (1984). Ketika dia diminta mengajarkan bahasa Sunda oleh Prof. Dr. C. Skinner, untuk memenuhi kebutuhan pengajaran, dia dianjurkan untuk menyusun kamus Sunda-Inggris. Kamus Sunda-Inggris kedua setelah A Dictionary of Sunda Language yang disusun oleh Jonathan Rigg (1862) itu diberi judul Sundanese English Dictionary terbit tahun 2003, yaitu 141 tahun setelah yang pertama.Kamus susunan Rabin ini memuat jauh lebih banyak entri daripada kamus susunan Rigg. Penyusunan kamus yang memakan waktu puluhan tahun itu, merupakan sumbangan Rabin sehingga bahasa Sunda terbuka buat mereka yang tidak mengetahui bahasa Sunda, Indonesia atau Belanda. Dengan demikian Rabin berhak menerima Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk jasa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah sastera "Rancagé" 2007 untuk bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa selama tahun 2006 diterbitkan 16 judul buku sastera, sepuluh judul lebih banyak dari tahun sebelumnya. Hal itu bertalian dengan atau terdorong oleh diseleggarakannya Kongres Basa Jawa IV dan Kongres Sastera Jawa II di Semarang. Terdiri dari lima kumpulan cerita pendek (cerita cekak), tujuh kumpulan puisi (guritan), satu kumpulan cerita rakyat, satu kumpulan drama, dan dua roman. Tapi dari ke-16 judul itu, sebagian merupakan kumpulan bersama atau cetak ulang, sehingga tidak dinilai untuk memperoleh Hadiah Sastera "Rancagé" 2007. Yang dinilai hanya tujuh judul, terdiri dari tiga kumpulan cerita pendek, dua kumpulan sajak dan dua roman. Banjire wis Surut (Banjir sudah surut) karya J.F.X. Hoery (penerbit Narasi, Yogyakarta) memuat cerita-cerita pendek yang di antaranya indah serta menyentuh, ialah "Banjiré wis Surut", "Meja Kursi", "Cacat" dan "Gambaré Ora Dadi, Mas". Keempatnya sangat kuat menggambarkan nasib orang kecil di tengah kehidupan sehari-hari yang keras, menggambarkan ketakberdayaan manusia menghadapi nasib. Keindahan yang berdasarkan situasi semacam itu biasanya mengharukan dan menimbulkan katarsis. Kontrol kebahasaan yang kuat dan teliti dalam hampir semua cerita pendeknya menunjukkan kematangan dan penguasaan penulisnya akan bahasa standar Solo-Yogya. Kata-kata ditata dengan baik, tidak ada yang lepas kontrol karena dorongan emosi. Dalam cerita "Méja Korsi" konflik yang bisa terbuka digambarkan menjadi konflik batin pada kedua tokohnya. Dalam cerita lainnya pun pengarang cenderung menghindarkan konflik terbuka, memilih penyelesaian dengan cara halus dan bijak mengajak kita merenungkan berbagai absurditas kehidupan.
Dalam cerita-cerita yang dimuat dalam Panggung Sandiwara (Penerbit Genta Mediatama, Sragén), Daniel Tito memperlihatkan keistimewaannya dalam teknik bercerita. Cerita-ceritanya pada umumnya bagus. Pengarang pandai membuat alur terasa dinamis. Di samping itu semua tegangan terpelihara dengan baik sehingga menimbulkan kejutan yang indah pada akhir alur. Kelemahannya yang menonjol ialah pada penggunaan tatabahasa dan ejaan bahasa Jawa. Timbul kesan ceroboh karena pengarang kurang memperhatikan pemutusan sukukata, seleksi tanda baca dan penulisan kata serapan. Struktur bahasa Indonesia sering tanpa disadari muncul dengan jelas.
Cerita-cerita pendek dalam Ajur! (Hancur, penerbit Gita Nagari, Yogyakarta) karya Akhir Laksono secara keseluruhan belum mampu meninggalkan kesan yang berarti. Cerita sering berakhir terlalu cepat dan pilihan kata dan penggunaan ejaan yang kurang dikuasai pengarangnya menyebabkan cerita kurang lancar dan alur tersendat. Namun pengarangnya masih muda dan energik. Kalau terus menulis dengan meningkatkan penguasaan bahasa dan ketelitian ejaan, tidak mustahil ia akan mengembangkan teknik bercerita yang khas seperti nampak dalam cerita "Ahh...!" dan "Ning".
Dua kumpulan puisi, yaitu Tanpa Mripat (Tanpa Penglihatan) karya Aming Aminoedhin dan Mampir Ngombé (Mampir minum) karya Indri S. Diarwati, diterbitkan oleh Forum Sastera Bersama, Surabaya. Dalam karyanya Aming banyak menulis tentang dirinya sendiri di tengah kebisingan kotanya, lukisan alam, kritik terhadap sikap hidup masyarakat yang dirasanya tidak berhati nurani, walaupun ada beberapa yang religius. Larik-larik puisinya seperti bercerita dengan pilihan metaforis yang transparan tapi tidak mengurangi keindahan karena penyair pandai menjaga jarak estetika. Indri S. Diarwati lebih kuat dalam menunjukkan gaya pengucapan, walaupun orientasi yang menonjol pada puisinya ialah ingin dekat dengan Sang Pencipta. Tapi gaya ekspresinya yang transparan menyiratkan jarak estetika terabaikan, padahal jarak estetika penting untuk membedakan ekspresi sastera dan bukan sastera. Imaji-imajinya yang kuat diwujudkan dalam puisi-puisinya yang pendek semacam epigram seperti "Tekané Candhil", "Pangrasa", "Dalan Sabrang" dll.
Roman Dom Sumurup ing Banyu (Jarum menyusup ke dalam air) karya Suparto
Brata (penerbit Narasi, Yogyakarta), sebelumnya pernah dimuat bersambung dalam Jaya Baya (Desember 1971-Maret 1972), dan pernah terbit dalam versi Indonesia berjudul Mata-mata (Pustaka Jaya, 1979). Cerita yang mengambil latar masa revolusi itu tentang mata-mata yang dimasukkan Belanda ke daerah Republik, padahal dia adalah mata-mata Republik. Seperti dalam cerita Suparto Brata yang lain, roman ini tidak hanya memiliki kekuatan dalam penataan alur, melainkan juga pada kecermatan pelukisan latar dan perwatakan tokohnya. Ronggéng Dukuh Paruk Banyumasan adalah versi bahasa Banyumas yang dikerjakan oleh penulisnya sendiri dari triloginya dalam bahasa Indonesia. Tapi ini bukan terjemahan, melainkan hasil penulisan ulang dalam bahasa ibu pengarangnya. Substansi cerita tidak berubah, tetapi penulisan kembali dalam bahasa ibu itu merupakan hasil transformasi dan dalam karya transformasi niscaya ada perubahan yang dalam hal ini nampak pada emosi pengarang sebagai penutur asli ragam bahasa Jawa Banyumasan yang meluncur dan mewarnai karya tersebut menjadi bernuansa khas, nuansa lokal. Dengan demikian Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan ini menjadi karya utuh dan menggambarkan satu sisi dari lokalitas daerah Banyumas.
Kehadiran karya Banyumasan ini menunjukkan bahwa bahasa Jawa itu tidaklah tunggal, yaitu bahasa Jawa Yogyakarta-Solo saja, tetapi beraneka karena setiap daerah memiliki kearifan lokal. Upaya menunjukkan kebinekaan bahasa Jawa sudah pernah dilakukan oleh para pengarang Jawa Timur antaranya oleh Suparto Brata dan Trinil. Setelah dipertimbangkan dengan matang, maka Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk karya dalam bahasa Jawa, ditetapkan Ronggéng Dukuh Paruk Banyumasan
Roman karya Ahmad Tohari (l. di Tinggarjaya, Jatilawang, 13 Juni 1948) Terbitan Yayasan Swarahati, Purwokerto Kepada pengarangnya akan diserahkan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk karya dalam bahasa Jawa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan yang dianggap patut menerima Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk jasa dalam bahasa Jawa ialah Maria Kadarsih (lahir di Yoygakarta, 6 April 1952). Maria adalah penulis naskah drama berbahasa Jawa yang sangat produktif yang sejak 1983 sampai sekarang (23 tahun) menulis naskah drama radio, seluruhnya sudah ada 1196 judul, disiarkan setiap minggu oleh RRI Yogyakarta. Di samping itu ia pun menulis drama-seri seperti Misteri Pecut Agung, Nyai Sisik dll. untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dia juga menulis dalam bahasa Indonesia.
Kecuali aktif sebagai penulis, sutradara dan pemain sandiwara radio berbahasa Jawa di RRI Yogyakarta, Maria juga menangani kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa, khususnya pembinaan sastera Jawa. Dia berkali-kali memperoleh penghargaan untuk kegiatannya menulis drama radio, berupa Penghargaan Swara Kencana dari Deppen (1985, 1993, 1997, 1998), penghargaan Seni dari Gubernur DI Yogyakarta (2001), dll.
Kepada Maria Kadarsih akan disampaikan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk jasa dalam bahasa Jawa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk bahasa Bali
Dalam bahasa Bali selama tahun 2006 terbit 17 judul buku, 13 di antaranya karya Nyoman Manda. Jauh lebih banyak daripada buku yang terbit tahun sebelumnya (hanya 5 judul). Di samping itu mulai Agustus 2006, surat kabar terbesar di Bali, Bali Post, menerbitkan sisipan 4 halaman berbahasa Bali diberi nama "Bali Orti" yang terbit mingguan dan memuat berita, artikel dan karya sastera seperti cerita pendek, puisi dan cerita bersambung. Penerbitan sisipan ini disambut baik oleh para sasterawan yang menulis dalam bahasa Bali. "Bali Orti" dengan demikian menambah jumlah kalawarta bahasa Bali yang sudah ada yaitu Buratwangi, Canangsari dan Satwa. Bulan Oktober 2006, diselenggarakan Kongres Bahasa Bali yang dalam kesimpulannya meminta pemerintah agar memberikan perhatian nyata terhadap penerbitan karya sastera Bali.
Ada tujuh kumpulan sajak, yang semuanya ditulis oleh Nyoman Manda yang telah dua kali memperoleh Hadiah "Rancagé" (untuk jasa dan untuk karya). Tiga di antaranya patut dicatat, yaitu Kabar Kabar Surat Kabar yang berisi kritik sosial dan isu aktual dalam masyarakat seperti banyak dimuat dalam surat kabar. Yang dua lagi ialah Niti Titi Puttaparthi dan Swara Cakra Kurushetra yang ditulis berdasarkan perjalanan spiritualnya (tirta yatra) ke India.Seperti umumnya karya-karya Nyoman Manda baik drama, cerpen maupun puisinya, bahasanya yang lugas dan temanya jelas. Bahasa yang lugas menyebabkan karyanya dengan mudah bisa dinikmati, termasuk oleh generasi muda yang sering dilanda mitos bahwa berbahasa Bali itu sulit. Dalam hal estetika ekspresi, khusus dalam puisi, Nyoman Manda senang memanfaatkan bentuk repetisi untuk memperkuat arti kata.
Kelugasan bahasa juga nampak dalam cerita-cerita pendek I.D.K. Raka Kusuma yaitu I Balar dan Ngambar Bulan (Menggambar Bulan). Perbedaan penggunaan bahasa terasa dalam cerita-cerita pendek I.A.O. Suwati Sideman yang dimuat dalam
Ngelidin Lawat (Menghindari Bayangan) dan karya Made Suarsa dalam Gedé Ombak, Gedé Angin (Besar Ombak, Besar Angin) yang menggunakan bahasa tingkat menengah dan tinggi (halus). Beberapa judul cerita Made Suarsa bahkan menggunakan bahasa Jawa Kuna. Bahasa demikian terasa indah, namun tidak mudah dipahami, khususnya oleh generasi muda. Hal ini sangat terasa pada karya I Made Suarsa yang oleh kritikus Nyoman Tusthi Eddy disebut sebagai karya prosa liris pertama dalam bahasa Bali modern.
Cerita-cerita pendek Raka Kusuma dan Suwati Sideman tampil dengan struktur naratif yang linear dan tema yang tunggal, sehingga cerita terasa kurang kompleks, kurang menantang untuk ditafsirkan. Mungkin sadar menulis untuk anak muda usia dan sadar hendak menyampaikan pesan tertentu, Suwati Sideman sengaja menjelaskan amanatnya pada setiap akhir cerita.
Cerita-cerita pendek Made Suarsa selain tampil dengan bahasa yang indah, juga ditandai dengan struktur cerita yang relatif rumit, kompleks dan canggih. Walaupun konflik antar tokoh belum maksimal, struktur naratif yang ditandai dengan alur yang kompleks membuat cerita-ceritanya nikmat dibaca. Persoalan yang digali juga terasa dalam dan disorot dari berbagai sudut. Dalam "Rasmining Monang Maning" misalnya, Suarsa melukiskan perbedaan persepsi publik tentang kualitas rumah perumnas dan arti hidup dalam kompleks perumahan yang tak pernah ada sebelumnya di Bali. Sikap realistis dalam era modern tercermin dalam cerita "Mangku Sonteng" yang melukiskan konflik antara tokoh yang mendukung dan yang menolak pembangunan sekolah di tempat yang dianggap angker. Akhir cerita menunjukkan bahwa pembangunan sekolah di tempat yang diangap angker itu tidak berarti menghilangkan nilai kesakralan, sebaliknya pembangunan menawarkan bentuk kesejahteraan dan keharmonisan baru.
Cerita-cerita pendek Made Suarsa merupakan bukti kemampuan pengarangnya dalam menggunakan bahasa Bali dan sekaligus menujukkan potensi bahasa Bali itu
sendiri dalam penciptaan prosa liris. Selama ini keindahan bahasa Bali nampak hanya dalam penulisan puisi tradisional (geguritan, kakawin), namun Made Suarsa membuktikan bahwa keindahan demikian dapat juga dicapai dalam sastera Bali
modern.
Sehubungan dengan itu, Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk karya dalam bahasa Bali ditetapkan untukGedé Ombak Gedé Angin Kumpulan cerita pendek karya I Made Suarsa(lahir di Gianyar, 15 Mei, 1954) Kepada pengarangnya akan diserahkan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk karya dlaam bahasa Bali berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk jasa dalam bahasa Bali disampaikan kepada Ida Bagus Darmasuta (lahir 10 April 1962) Darmasuta
menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh dan nyata dalam membina dan mengembangkan bahasa dan sastera Bali, khususnya ketika dia menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Denpasar (1999-2005). Sejak masih mahasiswa di Fakultas Sastera UNUD, Denpasar, dia aktif dalam penulisan puisi dan kegiatan apresiasi dan penyelenggaraan lomba drama dan penulisan drama modern bahasa Bali. Ketika dia baru diangkat menjadi Kepala Balai Bahasa, dia menyelenggarakan Temu Sastera Bali Modern (Desember 1999) yang dihadiri oleh para penulis sastera Bali modern dari seluruh pulau Bali. Dalam acara itu diberikan penghargaan kepada para penulis dan kritikus dengan maksud merangsang pertumbuhan sastera Bali modern. Di samping itu diadakan diskusi yang membahas masa depan perkembangan sastera
Bali modern. Acara Temu Sastera itu berhasil mengakrabkan hubungan sesama penulis dan merangsang para penulis untuk aktif mencipta.
Sebagai Kepala Balai Bahasa Darmasuta merancang program nyata dengan memberikan dukungan moral dan finansial untuk penerbitan majalah sastera Bali seperti Buratwangi, Canang Sari dan Satwa. Dia juga menyelenggarakan lomba penulisan dalam bahasa Bali untuk remaja dan pelajar. Karya terpilih diterbitkan dan didiskusikan dalam kegiatan apresiasi sastera. Kumpulan karya terpilih yang sudah terbit adalah Sekar Jepun (hasil lomba 2001), Layu Setonden Kembang (hasil lomba 2002-2003) dan Purnama (lomba cipta puisi anak se-Bali, 2002). Darmasuta juga membantu penerbitan buku karya sastera, sedikitnya ada 16 judul, berupa kumpulan sajak, roman dan materi Kongres Bahasa Bali V (2005). Tahun 2003 Darmasuta membentuk dan menjadi Ketua Forum Pencinta Sastera se-Bali yang
anggotanya terdiri dari peminat sastera baik bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Setelah berhenti dari Balai Bahasa, dia menjadi Wakil Ketua Badan Pembina Bahasa, Aksara dan Sastera Bali yang melakukan pembinaan bahasa dan sastera Bali, antaranya memastikan palaksanaan Konggres Bahasa Bali setiap lima tahun.
Kepada Darmasuta akan diserahkan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 untuk jasa
dalam bahasa Bali berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Samsudi
Karena dalam tahun 2006 bacaan anak-anak yang terbit hanya cetak ulang (Nu Ngageugeuh Legok Kiara karya Dadan Sutisna dan Jatining Sobat karya Samsudi)
maka tahun ini hadiah tersebut tidak diberikan.
*Upacara penyerahan Hadiah Sastera "Rancagé" 2007 insya Allah akan dilaksanakan melalui kerjasama Yayasan Kebudayaan "Rancagé" dengan Universitas
Islam Bandung (Unisba) bertempat di kampus Unisba di jalan Taman Sari pada Saptu terakhir bulan Mei 2007.
Pabelan, 31 Januari 2007.
Yayasan Kebudayaan "Rancagé"
Ajip Rosidi
Ketua Dewan Pembina
*****
Sehubungan dengan dimuatnya tulisan "Petaka Sodom dan Gomorah" di harian umum KOMPAS, selain respon dari NAMPA, juga ada surat pembaca dari Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional:
Tulisan "Sodom dan Gomora"
Merujuk tulisan "Sodom dan Gomora" yang dimuat Kompas (19/1) di rubrik Opini halaman 6, bersama ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: Kami sangat prihatin dengan dimuatnya opini tersebut. Kami berharap penulis melakukan koreksi atas tulisan tersebut, yang isinya sangat menyimpang dari kebenaran ilmiah, khususnya ilmu peternakan, nutrisi pakan ternak, dan kedokteran hewan. Penulisan tersebut juga menunjukkan pendidikan yang salah terhadap masyarakat. Penulisan itu juga melecehkan lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan serta penelitian karena semua isi tulisan tidak ada dasar ilmiahnya yang benar. Tulisan itu tidak ilmiah dan tidak beretika.Tri Hardiyanto
Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional
juga ada dari milis tertentu yang dimuat di milis Dunia Ibu:
Teman sejawat, Bapak dan Ibu yth.,
Opini yang ditulis F Rahardi (Wartawan, seniman) di harian Kompas terbitanJumat tgl 19 September 2007 (halaman 6) terkait flu burung (AI) dan mad cow(BSE) memang perlu ada beberapa klarifikasi, terutama di sana tertulis bahwa (1) penggunaan hormon pertumbuhan dalam industrialisasi perunggasan; (2) penggunaan DOC (day old chick; anak ayam umur sehari) jantan yang digiling untuk campuran pakan; (3) sosis (sapi dan ayam), nugget (ayam) dan kornet berasal dari limbah tulang belulang. Pernyataan tersebut menurut saya tidaktepat sama sekali, dan itu dapat membuat kebingungan masyarakat awam, terutama ibu-ibu yang harusnya memberikan makanan protein terbaik untuk keluarganya. Di alam ini, protein hewani lah yang yang memiliki asam amino esensial lengkap yang dibutuhkan tubuh, terutama pada masa pertumbuhan anak(jadi jangan sampai generasi kita relatif lebih buruk dari sebelumnya).
(1) penggunaan hormon pertumbuhan pada unggas tidak lagi digunakan.
Pertumbuhan yang sangat cepat tersebut akibat teknologi genetik yang dapat
menghasilkan ayam dapat cepat tumbuh. Dari aspek ekonomi pun tidak rasional
menggunakan hormon pertumbuhan untuk ayam (broiler). Hormon pertumbuhan (growth hormone) memang masih digunakan pada penggemukan sapi potong di beberapa negara (Australia, Amerika; namun dilarang di Uni Eropa). Mungkin kolega dari pembibitan dan perunggasan dapat lebih menjelaskan hal ini.
(2) Setahu saya, justru DOC jantan malah dipelihara, tidak dijadikan bahan
untuk pakan ayam. DOC jantan (ayam petelur) dipelihara sebagai ayam pedaging,
karena nantinya mirip seperti ayam kampung (tidak sebesar ayam pedaging
broiler). Kolega dari pembibitan ayam (breeder) dapat lebih menjelaskan.
(3) kalau yang dimaksud dengan limbah tulang belulang tersebut adalah
meatbone meal atau MBM (tepung daging dan tulang) sebagai bahan baku
sosis,nugget dan kornet, rasanya tidak mungkin. Mungkin kalo MDM
(mechanicallydeboned meat) digunakan sebagai bahan baku sosis dan nugget, iya.
MDM dikenal juga sebagai Mechanically Recovered Meat (MRM), di Jerman dikenal
sebagai Separatorenfleisch; MDM diperoleh dari sisa-sisa daging yang masih
melekat/menempel pada tulang-tulang (terutama pada tulang belakang, kepala) yang memang masih sekitar 5%. Kandungan kalsium (Ca) pada MDM relatif lebih
banyakdibandingkan daging lain, karena terikutnya material permukaan tulang
bersama daging MDM. Kualitas MDM relatif rendah, dan kandungan mikroorganismenya relatif lebih tinggi dibandingkan daging. Oleh sebab itu,MDM ditangani secara higienis dan sebaiknya segera dibekukan (minus 20 derajat Celcius).
Kalau tidak salah, di Uni Eropa penggunaan MDM dalam produk olahan daging,
terutama sosis, harus dicantumkan dalam label (ingridient). Penggunaan MDM dalam produk daging tidak dilarang; MDM tetap memiliki kandungan gizi. Namun tetap harus diperhatikan keamanan (mikrobiologis) sehingga tidak mengganggu kesehatan konsumen.
Demikian sedikit komentar saya terhadap opini di kompas tersebut.
salam
denny lukman
bagian kesehatan masyarakat veteriner
fakultas kedokteran hewan ipb
Nah, lho, siapa yang bertanggung jawab terhadap pemuatan artikel di KOMPAS?
1 Comments:
Wah baru tau kalo Abah (Rukmana HS) yang tetangga depan rumah dapet penghargaan ini.
DInny
www.dinnykaa.blog.com
By Anonymous, at 12:49 PM
Post a Comment
<< Home