Blognya si Ambu

Monday, July 07, 2014

Tentang Katherine

An Abundance of Katherines
(Tentang Katherine)
John Green
Alih bahasa: Poppy D Chusfani
320 hlm
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
2014

Bayangkan kalau seorang cowok genius berpacaran 19 kali dan semuanya dengan cewek bernama Katherine. K-A-T-H-E-R-I-N-E, dan tidak beda satu huruf pun, jadi bukan Katie atau Kat atau Kitty atau Cathy atau Rynn atau Trina atau Kay atau Kate atau, demi Tuhan, bukan Catherine!

Dan semuanya mencampakkan cowok itu—namanya Colin Singleton—bukan dia yang mencampakkan mereka!

Jadi, cerita dimulai saat Colin lulus SMA dan Katherine XIX mencampakkannya. Setelah saat-saat merananya, Colin memutuskan untuk pergi melancong, bersama Hassan, sahabatnya. Anak keturunan Lebanon. Agak gemuk. Dan berbulu (dan ukuran cup-nya A, seorang teman di tuiter mengingatkan. Baiklah.

Hassan Harbish. Muslim Suni. Bukan teroris.

Selalu cekikikan tiap baca kalimat perkenalan itu XD

Oke. Oke. Ambu ternyata malah lebih terpesona dengan tokoh pendamping ini, Hassan. Rasanya... enggak begitu suka dengan karakteristik tokoh utamanya, Colin, yang masih suka menangis kalau inget pada mantannya, pada Katherine-nya. Rasanya... kecewek-cewekan. Sama sekali tidak maskulin. Masih berusaha mencoba menghubungi Katherine XIX. Malahan, menyusun Teori tentang mereka yang Tercampak dan yang Pencampak. Lengkap dengan diagram.

Sebaliknya dengan Hassan, cerah ceria, dodol dan sedikit kampret XD Masih berusaha shalat meski di trotoar jalan. Mengobrol dengan Colin dalam bahasa Arab (Colin ini menguasai sebelas bahasa). Tidak minum alkohol. Tidak pacaran—walau akhirnya minum alkohol juga, pacaran juga dan ciuman juga, hihi. Untungnya semua kata ‘kafir’ diterjemahkan jadi ‘Orang Sesat’ kalau tidak ngebayangin Hassan berasa malih rupa jadi FPI, hihi

Dalam pelancongan mereka berhenti di Tennessee untuk melihat—konon—makam Archduke Franz Ferdinand, yang kematiannya mencetuskan Perang Dunia I. Di sini Colin dan Hassan bertemu dengan Lindsey Lee Wells; Metodis, dan juga bukan teroris XD Mereka juga bertemu dengan teman-teman Lindsey: Colin juga—yang ternyata adalah pacar Lindsey—Chase, Fulton, dan Katrina. Katrina. Nyaris

Dan Katrina malah naksir Hassan.


Jadi, apakah Teori yang sudah disusun Colin akan terbukti kebenarannya, terutama dalam romansa Colin yang terakhir? Apakah dia akan Tercampak lagi?

Oya, John Green sendiri pernah dicampakkan 53 kali. Tapi tidak pernah oleh orang yang bernama Katherine

Thursday, May 29, 2014

Melihat Dari London Eye

Ketika kapsul tersebut berada di puncak kincir, kami berdua berkata, “SEKARANG!” secara bersamaan lalu kami tertawa. Itu berarti kami berdua mengikuti kapsul yang benar. Begitu kapsul turun lagi, orang-orang di dalamnya berkerumun ke arah timur laut, menghadap ke kamera otomatis yang akan memotret mereka untuk kenang-kenangan. [The London Eye Mystery - Siobhan Dowd: 9]

Premis buku ini sederhana saja: seorang anak—Salim—hilang saat menaiki London Eye, dan seluruh keluarga: sepupunya Ted Sparks; kakak Ted, Kat; ibu Ted, Faith; ayah Ted, Ben; lalu sudah barang tentu ibu Salim, Gloria; dan ayahnya (yang sudah bercerai) Rashid; sibuk mencari.

Yang tidak biasa adalah, buku ini diceritakan dari sudut pandang Ted Sparks, seorang penyandang autis!

Penulisnya, Siobhan Dowd (almarhumah) mendeskripsikannya dengan sempurna. Keluarga Sparks kedatangan tamu dari Manchester: Bibi Gloria—adik dari ibu, dengan anaknya Salim. Bibi Gloria sudah bercerai dengan suaminya, dan ingin pindah ke New York. Dengan membawa Salim, anak semata wayangnya.

Mereka akan tinggal beberapa hari di London, di rumah keluarga Sparks, lalu berangkat ke New York, walau Salim terlihat agak ogah-ogahan. Karena saat itu sedang libur, maka mereka bisa berjalan-jalan ke mana saja. Bibi Gloria menyarankan galeri seni, sedang Salim ingin naik London Eye.

Walau Ted dan Kat baru naik London Eye dua kali, mereka sangat suka!

Tapi ini awal liburan, dan cuaca cerah, sehingga antrian karcis tentu sangat panjang! Jadi, ibu dan bibi Gloria mending minum kopi saja dulu, sementara anak-anak mengantri karcis.

Bagaimana jika tiba-tiba ada seseorang menawarkan karcisnya, gratis? Dengan alasan, dia tiba-tiba ingat kalau dia klaustrofobik?

Salim sangat antusias. Kat mula-mula ragu. Tapi antrean sangat panjang, entah kapan mereka bisa naik. Ted dan Kat sudah pernah naik, sementara Salim belum pernah. Jadi, Salim menerima karcis gratis itu.

“Kita ketemu di pintu keluar ya,” kata Kat. “Di sana.”

Salim mengangguk. Kami melihatnya melalui kaca, berjalan menaiki titian hingga terlihat bayangannya saja. Dia mencapai titik tempat pintu kapsul membuka-tutup dan hanya bayangannya yang terlihat melambaikan tangan. Lalu dia buru-buru menaiki kapsul bersama orang-orang lainnya. Aku menghitung berapa orang yang masuk. Dua puluh satu, termasuk Salim. Pintu kapsul menutup di belakang mereka.

Aku melihat arlojiku. Tertera: 11.32, tanggal 24 Mei. “Dia akan sampai bawah pukul dua belas nol dua,” kataku pada Kat. [hlm 45]

Kemudian kapsul Salim mencapai posisi tertingginya, arah pukul dua belas, dan kami berbarengan berkata, “SEKARANG!” dan tertawa lagi, kali ini aku tahu apa yang lucu. Kami sudah mengikuti kapsul yang benar, kapsul tempat Salim berada. Jamku menunjukkan pukul 11.47, tepat pada waktunya.

Pelan-pelan kapsul turun ke arah pukul sembilan. Aku ingat dari pengalamanku sebelumnya bahwa mendekati akhir perjalanan kami akan difoto secara otomatis sebagai cenderamata. Pengelola London Eye menempatkan kameranya sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk memotret semua orang dalam kapsul dengan latar belakang Big Ben. Kita akan dipotret ketika kapsul berada di antara arah pukul delapan dan pukul tujuh. Aku melihat bayangan orang-orang dalam kapsul Salim berkumpul ke satu sisi menghdap timur laut tempat kamera berada. Aku melihat blitz kamera.

Lalu kami berjalan ke tempat kami janjian dengan Salim sambil menunggu kapsulnya mendarat. Kapsul Salim sampai di bawah tepat pukul 12.02. Lalu pintunya terbuka. (...)

Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Salim. [hlm 48-49]

Siobhan Dowd mendeskripsikan seluruh upaya pencarian dari sudut pandang Ted dengan sempurna. Bagaimana pikiran Ted berjalan. Bagaimana reaksi seluruh anggota keluarga. Bagaimana reaksi Ted saat ia harus melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, demi menemukan Salim—dan sebagai anak penyandang autis yang tidak banyak menyukai orang lain, ia suka Salim!

Deskripsi Siobhan juga detail, terutama karena Ted dilukiskan suka pada London Eye dan Ted juga dilukiskan tertarik pada cuaca. Kalau libur dan cuaca cerah: antrean karcis London Eye bakal panjang. Saat Ted naik London Eye bersama Kat dan ayah, cuaca berawan, dan ayah Ted mengatakan antrian tidak akan panjang. Benar saja. Kumpulan besar awan kumulonimbus berdatangan. Area tekanan rendah mendekat. Perkiraanku sekitar 990 milibar dan menurun. Jarak pandang cukup baik [hlm 105]

Jadi pengen naik London Eye!

Ada satu sisi lain lagi yang terperhatikan dalam tulisan Siobhan—dan dalam beberapa penulis Inggris lain yang kubaca: JK Rowling, Jonathan A Stroud—yaitu aspek multiras. Inggris sejak jaman dulu sudah multiras. Pernah nonton Robin Hood: Prince of Thieves? Inget saat Robin jatuh bangun bertempur dan dicuekin engga dibantu oleh Azeem, karena dia sedang shalat?

 
 

Siobhan melukiskan Bibi Gloria menikah dengan Rashid—lupa apakah dia India, Pakistan, ataukah Bangladesh. Sepertinya engga disebutin—makanya anaknya bernama Salim. Tak ada pembicaraan yang menyinggung perbedaan apapun tentang ‘kau-orang-India-sedang-aku-Inggris’. Adalah hal yang biasa bergaul kulit putih dengan kulit berwarna. Bahkan saat ayah Ted dipanggil rumahsakit untuk mengenali kemungkinan sesosok mayat adalah Salim, deskripsi tentang ‘mayat itu anak Asia’ dilukiskan tanpa nilai. Kalimat-kalimat yang muncul justru untuk mengarahkan pembaca ke ‘apakah mayat itu Salim’ dan emosi yang menyertainya...
Sejauh ini kulihat beberapa penulis Inggris melukiskan multiras itu bagai orang-orang mengenakan busana aneka warna. Kau Eropa, Asia, Inggris, Skotlandia, India, Pakistan, atau Cina itu bagaikan kau memakai baju merah, kuning, hijau, biru, putih, hitam. Beda memang, terus kenapa?
Lalu ingat pada tweet penulis @vabyo saat dia sedang jalan-jalan ke Inggris (dan bikin sirik karena trotoar-trotoarnya lebih gede daripada jalan untuk mobil). Lupa tweetnya tentang sarapan atau ngopi, yang jelas ada tweetpic-nya mengenai sebuah kafe. Lumayan penuh, dan ada salah satu pengunjung terlihat memakai jilbab.

Gambar itu memancing pertanyaan salah satu followernya: ‘Eh, itu ada yang pakai jilbab? Emang makanannya halal?’

@vabyo menjawab, banyak kok kafe yang menyajikan menu halal.

Beberapa hari belakangan ini juga ada percakapan serupa di semesta twitter, bahwa di Inggris itu sudah biasa wanita pakai jilbab. Kafe/resto halal. Bahkan kalau wajahmu terlihat Asia/Timur Tengah, saat memesan menu, pelayan sudah biasa menawari apakah butuh menu halal.

Jadi sedih.

Lahir dan besar di negara mayoritas muslim, dari kecil di sekolah selalu ditanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika. Sekarang sudah punya anak, maunya sih (dan selalu berusaha) menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika itu, tapi kenyataannya?

Pada Cina, merendahkan. Pada Nasrani, meremehkan. Jangankan berbeda, sesama muslim saja, NU-Muhammadiyah rame. Beda lebaran, ribut. Kamu shalat pakai qunut atau enggak? Kalau ada yang meninggal, kamu tahlilan engga?

Meributkan hal-hal yang berbeda.

Sementara di Inggris, pelayan nawarin menu halal karena kamu pakai jilbab atau karena wajahmu Asia/Timur Tengah!

Memudahkan orang yang berbeda!

Ted berusaha mencari Salim. Parvati jadi pasangan dansa Harry, Cho malah jadi pacar Harry. Dan Lockwood langganan donat dari toko tetangganya, Arif.

Mungkin fiksi memang isinya hal-hal yang tidak ada di dunia nyata, akan tetapi bukankah fiksi juga berangkat dari hal-hal yang ada di dunia nyata?

Jadi pengen melihat sendiri kehidupan masyarakat Inggris!

Jadi pengen naik London Eye. Melihat segala sesuatu dari atas, dari sudut pandang yang berbeda. Sungai Thames dilihat dari bawah terlihat lurus padahal dari atas terlihat berkelok-kelok. Foto otomatis saat kapsul bergerak turun, dengan latar Big Ben. Juga melihat dari atas jalan Rivington, jalan tempat rumah Ted Sparks...

PS:
...aku bertanya kenapa pemain bola masih diperlakukan seperti budak padahal perbudakan sudah dihapuskan, setelah seorang pembaca berita menyiarkan bahwa seorang pemain Manchester United dibeli oleh klub lain sebesar dua belas juta pounds [hlm 19]

Ada yang bisa jawab pertanyaan Ted? #pelukTed XDD


 ----------

The London Eye Mystery (Misteri London Eye)
Siobhan Dowd
Yoga Nandiwardhana (alihbahasa)
Gramedia Pustaka Utama, 2013
255 hlm

Tuesday, December 31, 2013

DINI




DINI

 

‘Dino hari ini pulang. Dino hari ini pulang.’ Tak hentinya benak Dini menyenandungkan mantra itu. Sehari sebelum tahun baru. Janjinya akan mengajak Dini ke Car Free Night Dago. Melihat prototipe bus sekolah dan bus wisata yang dijanjikan walikota Ridwan Kamil. Menanti tahun berganti bersama lampion-lampion di sepanjang Dago—

 

Dini masih di kamar kecil tatkala deringan ponselnya terdengar.

 

“Duuuh, bentar dikit kenapa sih?” pikirnya, sambil bergegas membenahi pakaiannya. Bergegas keluar kamar mandi, menuju meja rias tempatnya tadi meletakkan ponselnya.

 

Deringan sudah terhenti.

 

Dilihatnya layar ponselnya.

 

Teteh Selma. Kakak sepupu Dino. Mungkin mau memberitahu waktu kedatangan Dino? Atau malah memberitahu kalau Dino sudah tiba?

 

Belum sempat Dini menekan tombol untuk menelepon balik, ponselnya berdering lagi. Masih dari nomer yang sama.

 

Ditekannya tombol untuk menerima sambungan.

 

“Assalamualaikum, teh Selma—“

 

Hanya beberapa kalimat terdengar, dan ponselnya terlepas dari genggaman, jatuh membentur karpet dan tergeletak di sana.

 

“Dini! Dini!” ponsel itu memanggil-manggil beberapa kali.

 

Tak ada yang menanggapi.

 

-o0o-

 

Sayup-sayup terdengar beberapa suara melantunkan surat Yasin. Suara wanita, suara pria. Suara berbisik-bisik meneruskan berita, meneruskan informasi. Tak ada yang berbicara keras-keras di sini.

 

Sesosok jenazah, sudah dimandikan, sudah dikafani, sudah dishalatkan, terbaring di satu sisi ruangan. Beberapa wanita berkerudung dan pria berkopiah duduk bersimpuh di dekat jenazah, fasih mendaraskan Yasin. Sepasang suami istri, sudah agak sepuh, duduk di dekat jenazah, dipeluk, dihibur, ditepuk-tepuk, dirangkul, oleh semua tamu yang datang.

 

Tamu terus berganti. Menyalatkan, mendoakan. Beberapa orang menyeksamai wajah jenazah yang belum tertutup rapat dengan kain kafan. Menyalami kedua orang tua Dino, memberi kata-kata penguat.

 

Juga menyalaminya.

 

“Yang kuat ya, Neng! Allah lebih sayang pada cep Dino, jadi diambil terlebih dahulu—“

Dini mengangguk, tak kuasa berbicara sepatahpun.

 

Seorang perempuan setengah baya menghampiri orangtua Dino, merangkul dan menangis bersama ibu Dino. Keluarga jauh, pikir Dini, rasanya ia pernah sekali melihatnya di pertemuan keluarga besar Dino.

 

“Dino pulang dari Makasar, habis menyelesaikan proyeknya. Pesawatnya kan mendarat di Jakarta—teu aya nu langsung ka Bandung 1)—jadi dalam perjalanan ke Bandung—di-di-jalan tol—“ Ibu tak kuasa lagi meneruskan ceritanya.

 

Kerabat itu menepuk-nepuk bahu Ibu, memeluknya lagi, sama-sama menghapus air mata, lalu mengucapkan kata-kata penghiburan pada Ibu.

 

Ia kemudian sekilas melihat pada Dini. Ibu sepertinya mafhum, dan memberinya penjelasan,  Ieu teh kabogohna 2) Dino. Dino pulang itu, habis itu mau melamar—“

 

Dan kali ini Dini yang menjadi obyek pelukan erat dari wanita itu. “Sing kuat nya? Sing kuat 3) —“ berikut tepukan-tepukan di bahunya.

 

Dini hanya bisa mengangguk.

 

Ia tak bisa berbicara.

 

Hujan turun rintik-rintik begitu jenazah akan dimakamkan, sehingga ustadz dari mesjid terdekat memberi saran bahwa yang mengantar ke makam hanya kaum pria saja. Apalagi, keadaan Ibu nampaknya sangat rentan, mudah sekali untuk pingsan.

 

“Mudah-mudahan besok cuaca cerah, sehingga Ibu dan kerabat-kerabat lain yang ingin menziarahi, bisa pergi. Sekarang, sepertinya sebaiknya Ayah dan kerabat yang pria saja yang pergi—“

 

Beberapa kerabat menyetujui. Pemakaman Cikutra memang medannya tidak mudah untuk ditaklukkan oleh mereka yang sudah lanjut usia, apalagi di cuaca seperti ini. Letaknya di perbukitan, sehingga membutuhkan stamina ekstra untuk mencapainya.

 

Jadi, setelah rombongan pengantar jenazah pergi, yang tinggal di rumah duka kebanyakan adalah wanita. Kerabat dekat membersihkan tempat, karena nanti sore tentu akan dipergunakan untuk tahlilan. Sebagian besar mulai sibuk di dapur, mempersiapkan makanan untuk mereka yang sedang berduka.

 

Ibu meminta Dini mengantarnya, ke kamar. Mulanya shalat. Lalu Dini menyarankan agar Ibu beristirahat.

           

Duduk di ranjang, bersandar pada tumpukan bantal, Ibu perlahan-lahan bercerita tentang Dino. Masa kecilnya. Masa remajanya. Masa dewasanya. Kenakalannya. Cita-citanya. Dini hanya mendengarkan, sambil mengusap-usap lengan Ibu. Sesekali berkomentar pendek.

 

Perlahan, Ibu tertidur. Kombinasi lelah fisik dan lelah pikiran, terka Dini. Kalau saja ia sudah berada di rumah sendiri, tidur juga akan menjadi pilihan pertama, pikir Dini. Tapi, entah ia bisa tertidur atau tidak—

 

-o0o-

 

Hari itu Dini pulang agak malam.

           

Tawaran dari salah satu kerabat Dino untuk mengantarnya pulang, ditolaknya dengan halus. Dia sudah biasa pulang malam, dan Buahbatu bukan daerah yang mudah sepi di malam hari. Terkadang sampai jam 01.00 saja masih ramai. Apalagi ini jam 10.00 juga belum.

 

Jadi, menggunakan angkot ia kembali ke rumah. Turun di gang kompleks. Seperti biasa, menelepon mang becak langganan. Hahay, teknologi ponsel memang memudahkan! Di kompleks tempat tinggal Dini, kebanyakan mang-mang becak punya ponsel sederhana. Membagikan nomor ponsel pada konsumen aka ibu-ibu dan teteh-teteh adalah cara praktis menjamin langganan akan tetap ada. Seperti Dini sekarang, walau di tempat mangkal becak di depan gang sudah sepi, tetapi dengan ponsel, akan terjamin dapat becak.

 

Dini turun dari angkot. Becaknya belum ada, sepertinya si mang tadi baru terbangun. Kasihan sih, sudah tidur dibangunkan lagi, tapi dalam situasi malam seperti ini Dini biasanya memberikan ongkos bonus.

 

Melangkah ke tempat mangkal becak, Dini duduk di tempat duduk darurat yang terbuat dari bambu. Melihat ke sekeliling, memang suasana sudah sepi. Tapi, warung di seberang masih buka, suara radio sayup-sayup masih mengalunkan lagu dangdut. Dini tak merasa takut.

 

Dari jalan besar, Dini melihat ada dua laki-laki berjalan dengan cepat. Dari penampilannya sih, seperti habis pergi jauh. Bawa-bawa ransel, jaket hitam resleting ditutup hingga leher, pakai topi yang ditarik hingga menutupi mata, kacamata hitam—

 

—sebentar! Mereka menuju ke arahnya?

 

Dini menoleh kanan-kiri, mencari kalau-kalau ada seseorang lain di sekitarnya, yang kemungkinannya adalah teman si dua laki-laki itu.

 

Tidak ada.

 

Jadi, kenapa dua laki-laki itu berjalan menuju ke arahnya?

 

Dini tak sempat berpikir karena keduanya sudah berada di depannya.

 

“Dini Nareswari?” salah satunya bertanya, dengan suara rendah yang berat.

 

“I-iya. Siapa ya?”

 

Keduanya berdiri sangat mepet, sehingga Dini tak kan terlihat dari jalan atau dari manapun. Karena keduanya laki-laki, dan Dini yakin keduanya berotot, posisi mepet seperti itu menghalangi Dini untuk melarikan diri.

 

“Tak perlu tahu. Mana flashdisk?”

 

F-Flashdisk apa?”

 

“Alah, tak usah pura-pura tak tahu! Flashdisk yang diberikan Dino! Cepat!”

 

Antara kebingungan dan ketakutan, Dini gemetar. “D-Dino? F-Flashdisk?”

 

Salah satu di antara mereka merebut tasnya, dan membukanya. Menuangkan isinya dengan paksa, dan memindai isinya, mencari-cari apakah benda yang mereka cari itu ada di sana.

 

Nihil.

 

“Pasti ada! Jelas Dino akan memberikan padanya!” geram yang satunya. Rekannya masih mencari-cari dengan lebih teliti. “Di tempat Surya tak ada, jadi pasti ada pada Dino—“

 

Dan tiba-tiba ia bergerak makin mepet pada Dini, yang kini benar-benar ketakutan. Apa yang akan dilakukan para berandal ini?

 

“Kalau wanita di desa, biasanya menyimpan uang di kutang,” kata si laki-laki yang makin mepet itu. Si pemilik suara rendah. “Apa kau pikir, dia juga akan menyimpannya di beha?”

 

Rekannya tertawa pendek, tapi menyahut juga, “—boleh dicoba—“

 

I-ini percobaan perkosaan?

 

Dan Dini tak akan diam saja. Ia harus melawan, berteriak atau memukul—

 

“HOOI! MAU APA KALIAN?”

 

Kedua laki-laki tadi saling berpandangan demi mendengar suara menggelegar itu. Si mang becak! Dini bersyukur, kedatangannya tepat waktu!

 

Tak mau mengambil resiko, kedua laki-laki itu melemparkan tas Dini ke tanah, dan lari secepatnya.

 

Dini langsung terduduk di tanah!

 

“Neng! Neng! Teu nanaon 4) , Neng?”

 

“Enggak, mang! Aduh, nuhun pisan, mang meni pas!” 5) mau rasanya Dini memeluk mang becak saking girangnya. Gemetar ia berdiri, memungut tasnya, memungut seluruh isi yang tadi dikeluarkan dengan paksa dan memasukkannya ke dalam tasnya sembarangan. Matanya mencari-cari, mungkin masih ada yang terlempar atau terselip, tapi sepertinya tidak ada.

 

Gemetar juga ia naik ke becak, dibantu si mang. Kalau tidak dibantu, sepertinya dia sudah melorot lagi di tanah, saking lemasnya.

 

Perjalanan ke rumahnya seperti berabad-abad, dan Dini terus melirik ke arah kedua laki-laki tadi berlari, takut mereka masih akan menunggu untuk datang ke rumahnya dan mencari apa yang mereka cari, tapi sepertinya mereka sudah jauh.

 

Dini turun, dan memberi si mang bonus dua kali lipat. Memaksa agar diterima, soalnya si mang merasa tidak perlu.

 

“Neng, benar-benar tidak apa-apa?”

 

Dini menggeleng.

 

“Sepertinya mereka cuma mau merampok, tapi saya kan jarang bawa dompet, jadi mereka nggak nemu dompet—“

 

Si mang becak menunggu sampai dia benar-benar masuk, mengunci pintu pagar, masuk ke rumah dan mendengar suara pintu rumah dikunci juga, baru dia beranjak pergi.

 

Dini menghembuskan napas panjang. Melempar tasnya ke tempat tidur, dan masuk ke kamar mandi. Berganti pakaian, dan minum susu. Terduduk di sofa depan televisi sambil memegang gelas susunya.

 

Kejadian yang aneh.

 

Kenapa orang-orang itu mengincarnya? Kenapa mereka mengetahui namanya? Kenapa mereka mengetahui hubungannya dengan Dino? Dan, flashdisk apa yang mereka cari? Satu lagi, apa hubungannya dengan Surya? Siapa itu Surya?  

 

Kesemuanya berputar-putar di kepalanya. Kusut, tak bisa dirapikan, tak bisa diambil kesimpulan.

 

Dini terbangun di pagi hari, masih di sofa, dengan gelas susu terguling di lantai.

 

-o0o-

 

Hari ini, sepulang kerja ia menyempatkan diri untuk ziarah. Ternyata di sana ada Ibu dan Bapak. Jadilah mereka pulang bersama. Sekalian Dini membantu menyiapkan tahlilan hari kedua.

 

Di sela kesibukan dan di antara kerabat yang turut membantu, Dini berusaha bisa berbicara dengan Teh Selma.  Kesempatan itu muncul saat waktunya mengatur dus-dus kue plus piring-piring untuk makan keluarga. Hanya berdua di ruang makan, Dini berbisik lirih pada Teh Selma, “Teteh, apa Teteh tahu nama-nama teman-temannya Dino, terutama yang di Makassar baru-baru ini?”

 

Kilat mata Teh Selma menandakan memang ada sesuatu yang penting yang ingin ia bicarakan. Apalagi, tanpa basa-basi lagi, Teh Selma langsung bertanya balik, “Ini menyangkut Surya ya?”

 

Kaget, Dini balik bertanya lagi. “Jadi, memang ada temannya Dino yang bernama Surya? Dan kenapa Teteh tiba-tiba menanyakan itu?”

 

Teh Selma menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada yang mendengar dulu. “Benda-benda Dino kan disimpan Ibu. Tadi malam, Ibu minta membukakan ponsel Dino, ingin melihat pesan-pesan yang masuk.  Ada miscall yang terus menerus, dan SMS yang bertubi-tubi. Sepertinya saat orang itu menelepon dan meng-SMS itu adalah sekitar saat terjadinya kecelakaan Dino.”

 

Teh Selma menarik napas, “Ternyata isi SMS dari kantor tempat Dino kerja, cabang Surabaya. Saat itu mereka belum tahu keadaan Dino. Mereka mengabarkan bahwa—rekan Dino yang bersamaan pulang dari proyek di Makassar, Surya, kecelakaan, dan meninggal dunia di tempat—“

 

Horor menyelimuti raut wajah Dini.

 

“Da-dalam saat yang bersamaan?”

 

Teteh Selma mengangguk. “Aku cuma bilang pada Ibu, kalau ini SMS dari kantor Surabaya. Tapi aku tak mengatakan yang selengkapnya. Tentunya, siang itu juga kantor Surabaya tahu kalau Dino mengalami kecelakaan—“

 

“Dan—menurut Teteh, apakah kecelakaan ini, ada kemungkinan—disengaja?” bisik Dini sangat lirih.

 

Teh Selma mengangguk pelan. “Aku tidak berani bilang kalau ini disengaja. Bukan polisi, dan tidak ada akses untuk mengetahui bagaimana kronologisnya kecelakaan. Yah, sebenarnya, kalau kita ngotot pengen tahu, polisi pasti akan memberitahu dengan detail. Tapi, bagaimana bisa, dua-duanya kecelakaan, dan meninggal?”

 

Dini berhenti menyusun dus-dus kue, dan mencoba berpikir. “Apakah—apakah mereka berdua sedang menyusun satu hal yang sama, Teh Selma? Maksudku, proyek yang di Makassar itu kan proyeknya banyak orang. Ada banyak yang terlibat. Nah, apakah Dion dan Surya juga punya proyek—atau katakanlah sesuatu—yang hanya diketahui berdua?”

 

Lagi-lagi Teh Selma balik bertanya, “Kenapa kau bisa punya pikiran seperti itu? Oh ya, tentu saja. Sebagai kekasih, kau akan punya akses untuk mendapat informasi langsung dari Dino cukup besar. Tetapi, kau tadi kan nanya Teteh?”

 

Terdiam sejenak, Dini menyahut, “Kalau untuk teman-teman di proyek Makassar ini, Dino cukup banyak bercerita. Kebanyakan cerita-cerita sambil lalu. Tak ada yang serius. Nama Surya juga disebut sesekali, sama dengan nama-nama rekan-rekannya yang lain.”

 

Sayang mereka tak bisa terus bercakap, karena beberapa kerabat masuk ke ruang makan, dan turut membantu. Sampai saat pulang, Dini maupun Teh Selma tak bisa menemukan kesempatan untuk bercakap berdua lagi.

 

Memutuskan untuk berbicara esok saja, Dini kembali pulang malam, kembali menolak diantar. Tapi kali ini, ia sudah memesan mang becak untuk sudah siap menjemput di ujung jalan tatkala ia turun dari angkot.

 

Jadi, aman. Lagipula, malam ini malam tahun baru. Di mana-mana ramai. Di lapangan bahkan ada panggung.

 

Turun dari becak, Dini membayar seperti biasa. Membuka kunci. Masuk. Menutup pintu dan menguncinya. Menyalakan lampu, melempar tasnya, dan terduduk di sofa, menyandar sambil memejamkan mata.

 

“Jam segini baru pulang, Din?”

 

Serasa copot jantung Dini mendengar suara itu, di rumah yang seharusnya kosong ini.

 

 “Di-Dino?” tak percaya ia membuka mata. Meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi, tidak sedang melihat hantu.

           

Sosok di hadapannya itu tertawa renyah. Seperti kebiasaannya kalau sedang menertawakan Dini yang sedang lemot.

           

“I-ini beneran kamu? Dino? Lalu, siapa yang kemarin di—“ beribu pertanyaan berseliweran di kepalanya.

           

Dino mengangguk. “Akan aku jelaskan. Sekarang, bikin minuman dulu, gih. Bikin teh manis yang anget. Jangan kopi, nanti kau nggak bisa tidur, lagi—“

           

Nadanya memerintah, tapi dia juga mengikuti Dini ke dapur, menurunkan dua buah mug dari lemari, dan memperhatikan Dini dengan seksama tatkala Dini menyeduh dan mengocek teh. Selesai, dia mengambil kedua mug itu, dan mengikuti Dini kembali ke ruang tengah.

           

Duduk berdampingan di sofa, Dino memberikan mug yang satu pada Dini, dan meniup-niup teh di mug yang satu lagi. Setelah berasa agak hangat, dia menyeruput tehnya, agak lama. Baru ia menaruh mugnya di meja. Bersandar, sambil tangannya menarik halus ikal-ikal rambut Dini, yang posisinya menjadi lebih maju darinya.

           

“Jadi,” sahutnya hati-hati, “—aku pulang dari Makassar, sedang menempuh tol Cipularang, kemudian kecelakaan itu terjadi, dan aku meninggal. Begitu kan?”

           

Dini mengangguk. “Apa-apakah memang kau tidak kecelakaan? Lalu, siapa yang dimakamkan kemarin? Mengapa bisa begitu mirip denganmu?”

           

Dino menggeleng pelan. “Tidak. Itu memang aku. Terhitung kemarin, aku sudah mati—“

           

“Aku tidak mengerti—“

           

“Aku jelaskan. Dengar baik-baik ya—“ Dino menarik tubuh Dini merapat, dan melingkarkan tangannya ke pinggangnya.

           

“Pada awalnya, ada beberapa manusia ‘gila’ yang hobinya mengutak-utik berbagai teori-teori kategori ‘tak mungkin’. Ada mereka yang mudah menyerah, tetapi juga ada yang keukeuh, tak menyerah.”

           

“Tentu saja, kami tak mungkin meneliti teori-teori ini secara terang-terangan. Kebanyakan meneliti secara diam-diam, dan sesudah selesai jam kerja resmi—“

           

“—dan itu sebabnya kau sering tak pulang dari lab, iya kan? Sebentar, apakah kau termasuk ke dalam species ‘manusia-manusia gila’ itu?”

           

Dino terkekeh. “Sori, kalau aku sering membohongimu, nggak jadi apel ke sini dengan dalih kerjaan belum selesai. Padahal, aku melanjutkan dengan penelitian lain—“

           

Dini manyun. Tetapi diteruskannya menyimak.

           

“Oke, jadi singkatnya, kami menemukan cara berpindah waktu—“

           

“Mesin waktu?” potong Dini.

           

“Yah, semacam itulah. Kalau aku terangkan secara detil, mungkin akan panjang. Belum tentu kau akan mengerti. Tapi, secara singkatnya, bolehlah disebut mesin waktu.“ Dino tersenyum. Tangannya yang satu disusupkan ke dalam saku jaket, dan keluar dengan sebuah flashdisk. Kecil, berwarna hitam, dengan tali gantungannya yang bertuliskan NARUTO lengkap dengan lambang desa Konoha.

           

“Ya ampun! Itu tali gantungan—“ tawa Dini tiba-tiba menyembur. Entah sudah berapa kali mereka membicarakan hobi Dino sedari remaja yang tak mau hilang-hilang ini: membaca manga dan menonton anime-nya.

           

“Biar Naruto yang akan membantumu menjaga isi flashdisk ini,” sahutnya. Serius.

           

Dini turut serius. “Dino, flashdisk inikah yang dicari dua laki-laki kemarin malam?”

           

Wajah serius Dino  bertambah mendengar pertanyaan Dini. “Secepat itukah mereka datang? Apa yang mereka lakukan?” ia mempererat rangkulannya, “—kau diapakan? Kau tidak apa-apa?”

           

Dini menggeleng. “Tidak, mereka tidak sempat melakukan apa-apa. Hanya sempat mengobrak-abrik tasku, tapi sebelum mereka bertindak lebih jauh, ada mang becak yang datang—“

           

“Syukurlah,” wajah Dino menyiratkan kelegaan.

           

Ia meneruskan. “Di flashdisk ini aku menuliskan semua formula yang kutemukan. Bukan hanya aku yang bekerja, ada dua lagi sebenarnya—“

           

“Surya?”

           

Dino mengangguk, “Bagaimana kau tahu?”

           

“Surya juga meninggal, Dino,” Dini mendadak merinding. Gemetar menyebut nama mereka. “Sama denganmu, meninggal dalam kecelakaan—“

           

Dino membeku. Sesaat. Namun, sepertinya ia bisa mengatasi keadaan. Seolah bisa meredakan getar, Dino mempererat pelukannya. “Saat aku melakukan percobaan alih-waktu, aku juga shock mendapati kenyataan bahwa aku beralih ke waktu yang salah. Begitu pindah, yang kutemukan di rumah justru kenyataan bahwa—aku sudah meninggal. Melihat Ibu dan Ayah di samping jenazahku, dan di samping mereka, duduk juga kau.”

           

Hening beberapa saat. Saling bercakap tidak dalam bentuk kata.

           

Tapi beberapa saat kemudian, Dino meneruskan. “Aku dan Surya bekerja sama menemukan formula ini. Bergantian kami menguji-cobanya. Kemudian masuk Rudy. Aku tak begitu jelas kenapa ia bisa bekerja sama dengan kami, yang aku tahu, sepertinya ia sangat antusias dengan proyek ini. Aku bahkan tak tahu kalau ia sudah menghubungi beberapa pihak dengan modal kuat, untuk mendanai proyek ini—“

           

“Bukankah itu bagus, ada sponsor?”

           

Dino menggeleng. “Tidak bagus, kalau pihak yang mensponsori itu berniat tidak baik—“

           

“Eh?”

           

“Coba bayangkan. Kalau kau ingin membunuh seseorang. Pakai saja teknik alih-waktu ini, bunuh orangnya, dan kembali lagi ke waktu aslinya. Kemudian, jika ada yang mencoba menuduh melakukan pembunuhan, dia tentu saja bisa dengan mudah menyebutkan alibinya.”

           

Dini nampak berpikir keras, tetapi mulai mengangguk. “Demikian juga kalau ada perampokan—“

           

“Betul.” Dino mengamini. “Dan lebih kejam lagi, kalau teknologi ini disembunyikan. Hanya satu pihak yang mengetahui tekniknya. Dengan mudah ia bisa melakukan berbagai kejahatan di sembarang waktu, dan kembali lagi dengan wajah tak berdosa di waktu asalnya—“

           

Dini bergidik.

           

“Tapi, hal yang sama juga berlaku jika yang mempergunakannya tidak menggunakan untuk sesuatu yang jahat.”

           

“Eh? Bagaimana bisa?”

           

“Katakanlah teknologi ini sudah merata penyebarannya. Lalu, aku akan menemuimu di masa datang. Tapi kau juga ingin menemuiku di masa lalu. Apa yang akan terjadi?”

           

Dini mengangguk. “Yang akan terjadi adalah kekacauan. Chaos—“

           

Dino menghela napas. “Karena itulah, aku berusaha merahasiakan penemuan ini. Aku dan Surya. Tak tahunya—“

           

“Ada apa dengan Rudy?”

           

“Kemungkinan terbesar yang terjadi adalah, Rudy terlalu rakus. Atau terlalu ambisius. Formula kami yang belum selesai, sudah ditawarkan pada orang lain. Yang aku tahu, samar-samar, mereka adalah mafia yang menawarkan jasa apa saja pada para pejabat yang terlibat kasus. Menghilangkan barang bukti, menakut-nakuti para saksi, dan sebagainya.”

           

“Dan Rudy—“ sepertinya Dini sudah bisa menebak jalan hidup Rudy.

           

“Ya. Mayat Rudy ditemukan di pantai Losari, pagi ketika kami sedang jalan pagi. Setelah malam sebelumnya kami mengira Rudy tak kembali karena asyik menikmati kehidupan malam Makassar—“

           

Malam semakin larut.

 

Dino memecah keheningan, “Sebenarnya, setelah kami menemukan jenazah Rudy, kami sudah menyiapkan diri—“

 

“Bagaimana bisa kalian mengatakan ‘menyiapkan diri’, menyongsong kematian, bagaikan menghadapi ujian sekolah saja—“ emosi Dini mulai naik.

           

Dino seperti tak mendengar “Kupikir tak aman menyimpan flashdisk ini padamu. Kalau mereka sudah mulai menggunakan cara pembunuhan pada Rudy, pada diriku, dan pada Surya, sepertinya mereka juga tak akan segan-segan menggunakannya padamu atau orang-orang dekat kami. Berarti ini harus disimpan di suatu tempat, tetapi kau juga harus tahu di mana menyimpannya—“

           

“Bagaimana caranya?”

           

“Jangan lupa, aku berasal dari masa lalu, Dini, walau hanya berbeda seminggu. Aku akan kembali ke masa lalu, menyimpannya di suatu tempat, dan memberitahumu tempat penyimpanannya, lewat media yang aman.”

           

Menarik napas panjang, Dini menyahut, “—kalau kau memang sudah menemukan cara beralih-waktu, kalau kau datang ke masa kini, dan kemudian mengetahui bahwa kau sudah meninggal di masa ini, kenapa tidak kau coba menghindari, Dino? Apakah—“ Dini bersungguh-sungguh menatap wajah kekasihnya, “—apakah memang terlarang untuk menghindari penyebab kematian jika ia sudah datang?”

           

Kali ini Dino yang menarik napas panjang. “Kematian tidak bisa dihindari, sayang. ‘Dan kemudian dia menyalami Kematian sebagai teman lama, dan pergi bersamanya dengan senang, dan sebagai teman sederajat, mereka meninggalkan kehidupan ini’—“

           

Tak bisa ditahan, Dini tertawa. “Itu kutipan dari The Tales of Beedle the Bard, Dino! Katanya kau tak suka baca Harry Potter—“

 

Dino nyengir. Tapi tak lama, berubah menjadi serius. “Memang, begitu aku tahu aku akan mati dalam waktu singkat, rasanya ingin menghindari penyebabnya. Tetapi, kalaupun aku menghindar, takdir tentu akan datang dengan cara yang lain, kan? Kalau tanggal itu, jam itu, aku sudah ditakdirkan untuk dijemput oleh Yang Kuasa, bagaimanapun caranya, aku tetap akan mati. Tak ada gunanya menghindari jalan tol Cipularang, karena aku mungkin akan mati di jalur Puncak, atau di manapun aku mencoba menghindar—“

           

Dini menyusup ke dada Dino. Mencoba menghirup sebanyak mungkin aroma Dino yang ia kenal, sebanyak mungkin, sebelum ia terlambat—

           

“Jadi, di mana aku harus menyembunyikannya?” Dino berpikir keras.

           

“Tempatnya harus tak mudah diketahui, tapi juga tak melibatkan dirimu, atau orang-orang terdekat lainnya—“

           

Keduanya terdiam.

           

“Tapi, aku sudah terlanjur tahu, Dino. Dan sekali tahu, tak bisa dibuat menjadi sama sekali tak tahu, diam tak berbuat apa-apa—“

           

Dino masih terdiam.

           

“Akan kupikirkan caranya—“ ia memeluk Dini lagi, mengecup keningnya, “sementara itu, aku juga minta maaf—“

           

“Lho?”

           

“Karena aku—meninggal.” Dino menghela napas panjang. “Aku tahu kau sudah terbiasa ditinggalkan orang tua, dan karenanya terbiasa hidup sendiri. Secara logis, kau akan terbiasa juga dengan ditinggalkan olehku. Tapi kehidupan tidak hanya terdiri dari hal yang logis—“

           

Dini merasa rambut di atas pelipisnya basah. Sesuatu menetes padanya. Menoleh ke atas, baru terasa kalau mata Dino, tepat di atas pelipisnya, adalah sumbernya.

 

 “Andaikan—“ Dino mencoba meneruskan dengan suara yang parau, “—kau masih ingat waktu kita nonton ‘Time Traveller’s Wife’? Kita bisa bertemu berkali-kali—“

           

“Tapi Henry tidak bisa mengendalikan kapan dia bisa berpetualang ke waktu yang lain—“

           

“Ya,” Dino mengangguk pelan, “Andaikan saja Henry bisa mengendalikan, kapan dia beralih waktu, ke mana ia pergi, kapan ia bisa kembali lagi. Kalau tidak salah, anaknya kan bisa ya, mengendalikannya?”

           

Dini menyandarkan kepalanya lagi di dada Dino. Alangkah menyenangkan mengingat kembali apa yang sudah mereka lalui bersama-sama.

           

“—tapi Henry itu mengalami kelainan genetik, sementara apa yang aku dan Surya teliti ini jauh berbeda—“ Dino masih menerawang.

           

“Kau sendiri yang bilang tadi, bahwa kalau teknik yang kau temukan ini dipakai, akan banyak timbul chaos.”

           

Dino mengangguk.

           

“Kalau sampai itu dipatenkan, sepertinya harus dibuat undang-undang untuk mengatur kapan seorang bisa beralih waktu, dan ke mana—“

 

“Maksudnya, ‘ke kapan’? Hihi.”

           

Doni tersenyum. “Iya betul. Harus diciptakan satu kosa kata baru lagi nanti. Dimensi baru—“

           

“Hmm,” Dini membayangkan, “harus ada peraturan, berarti akan banyak juga pelanggar peraturan—“

           

“Peraturan diciptakan untuk dilanggar—“ dan tawa pun berderai lagi.

           

Tapi sesaat Dino terdiam lagi.

           

“Ada apa?” Dini melihat terdiamnya Dino yang tiba-tiba.

           

Dino menghela napas. “Kalau saja kita bisa alih-waktu kapan saja kita mau, ya. Maksudku, sesering yang kita inginkan—“

           

“Teknologi yang kau dan Surya teliti itu, memangnya tidak bisa?”

           

Dino menggeleng, perlahan. “Bukannya tidak bisa. Tetapi penelitiannya belum sampai ke sana. Karena itulah, aku ingin ada orang yang tepat, yang bisa diberikan padanya flashdisk ini, agar ia kembangkan lagi. Bukan orang yang justru akan menyalahgunakannya.”

           

Menghela napas lagi, “Sebenarnya aku punya satu ide. Agar pihak yang punya kepentingan buruk, tidak mengejar-ngejarmu lagi, tapi sekaligus agar flashdisk ini bisa aman, tak terdeteksi ada di mana—“

           

Dini memandangnya, “Tapi—biasanya kau kemudian menambahkan kata ‘tapi’ itu—“

           

Tersenyum kecil, Dino balik memandangnya juga. “Ya. Ada tapinya. Rencana ini harus benar-benar disusun secara detil. Aku tak mau ada kesalahan sedikitpun. Ada kesalahan, dan semua tujuan kita akan hancur lebur—“

                       

Dari jauh terdengar suara ronda malam memukul tiang listrik.

           

Dino memandang jam tangannya.

           

“Dini—“

           

“Jangan bilang apa-apa. Aku tahu, waktunya sedikit—“

           

Dino mengangguk. “Karena aku datang ke Bandung pada hari ini, aku tidak boleh melewatinya, tidak boleh lewat tengah malam. Lewat tengah malam, berarti sudah masuk ke hari yang lain—“

           

Dini memeluknya erat. Tapi, sejenak dilepasnya pelukannya, “Kau kok jadi seperti Cinderella sih?”

           

Tertawa berbarengan berderai.

 

Tetapi mendadak keduanya terdiam lagi.

 

Dini menghela napas. “Ya. Aku tahu itu.” Menghela napas lagi. “Jadi, kau tetap akan membiarkan—semuanya seperti apa adanya?”

           

Dino mengangguk. “Ya. Maafkan aku, Din, tetapi—“

           

Dini memeluknya erat. “Aku tahu. Aku tahu. Walau bagaimana, ini lebih baik. Lebih baik kau datang dan menjelaskannya padaku. Segalanya menjadi lebih baik, Dino—“ ia menelusupkan kepalanya di dada Dino.

           

Dino mengecup puncak kepala Dini hati-hati, “Aku mencintaimu, Dini. Selalu.”

           

“Aku juga mencintaimu. Selalu—“

           

Dino mengecup bibirnya perlahan, lama. Seolah berusaha menghapal setiap milimeternya, memasukkannya ke dalam memori hatinya.

 

-o0o-

 

Ia melangkah meninggalkan pemakaman. Menuju rumah keluarga Dino.

           

Seperti biasa juga, di sana sudah banyak kerabat. Ada beberapa yang datang dari luar kota sejak hari kematian Dino, dan baru akan pergi setelah tahlilan hari ketujuh ini. Menemani Ayah dan Ibu.

           

Dini mengucap salam, menyapa beberapa kerabat, dan menuju kamar Ibu, seperti biasa. Sudah ada Teh Selma di sana, dan lega melihatnya datang.

           

“Tuh Dini, sudah datang—“ sahut Ibu, nampak gembira. Menyambut Dini, cium pipi dan memeluknya. “Dari kantor?”

           

Dini menggeleng, “Dari makam—“ sahutnya pelan. “Ayah mana?”

           

Ibu menjulurkan kepala ke arah ruang tamu, “Tuh. Ada tamu dari kantornya Dino cabang Makassar. Juga ada beberapa polisi. Katanya—ada bom di kantor Dino. Euh, maksud Ibu, ruang yang dulu dipakai Dino untuk kantor—“

           

“Oya? Ada yang luka?” Dini berusaha mencegah raut wajah ‘sudah tahu’-nya muncul, dan menggantinya dengan wajah kaget.

           

“Katanya sih tidak ada. Tapi, karena ada ledakan itu, polisi jadi bisa menangkap tersangka pembunuhan Dino maupun Surya—“ Teh Selma menjelaskan.

           

“Lho, kok begitu?”

           

“Saat peledakan itu, ada kaki tangannya yang sedang berusaha masuk ke bekas ruang kerja Dino. Pas meledak. Entah apa mereka bermaksud meledakkan ruangan itu, atau bagaimana. Entah apa mereka salah hitung waktu untuk meledakkannya, entah bagaimana. Yang jelas, dua orang itu terkena ledakan, dan luka parah. Masuk rumah sakit. Waktu polisi sedang menangani, menanyakan identitas, sekantor tak ada yang tahu siapa mereka. Diusut-usut, ternyata nyambung dengan kecelakaan Dino maupun Surya—“

           

Dini mengangguk-angguk. “Jadi, polisi tidak menganggap kecelakaan Dino saat itu sebagai kecelakaan biasa?”

           

“Tidak. Setelah diteliti, unsur sabotasenya besar, menurut mereka—“

           

Dini terduduk. Lemas. Dino ternyata berhasil merencanakan dan melaksanakannya dengan seksama, dengan teliti, sehingga tepat tujuan.

           

“Iya, nak. Dino bisa tenang di sana. Orang-orang yang merencanakan pembunuhannya sudah ditangkap,” Ibu memeluk Dini. Erat-erat.

           

Oya. Bisa-bisanya Dino menangkap pembunuhnya sendiri, batin Dini, dan dilaksanakan dari ‘alam sana’.

           

Dini balas memeluk Ibu. Erat-erat.

 

SELESAI

 

1) teu aya nu langsung ka Bandung: tidak ada yang langsung ke Bandung

2) Ieu teh kabogohna Dino: Ini pacarnya Dino

3) sing kuat nya?: yang kuat ya?

4) Teu nanaon: tidak apa-apa

5) nuhun pisan, mang meni pas: terimakasih sekali, mang pas banget