Blognya si Ambu

Friday, September 27, 2013

Planetes: Memburu Tongkat Silex Luminar


PLANETES: Memburu Tongkat Silex Luminar
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit Laksana, Juli 2013
198 hlm

 

...tipis.
Begitu pertamakali memegang bukunya, kesan itu yang saya dapat. Biasanya, novel-novel fantasi—apalagi keluaran lokal—berlomba-lomba menebalkan diri. Dan biasanya bikin malas bacanya. Apalagi kalau nama-nama yang ada (tokoh, lokasi, dll) sulit dibaca. Makin malas bacanya.

Tapi Planetes cuma 198 halaman. Harganya juga cuma Rp 30.000 (saya dapatnya Rp 22.500, karena belinya di Togamas pagi-pagi. Kalau ga salah, di Togamas ini ada program diskon 25% buat 50 judul buku pertama yang terjual tiap hari. Saya seringnya ke Togamas pagi, kadang begitu buka begitu masuk—kan arahnya sama dengan ke pasar, jadi ke Togamas sekalian ke pasar. Jadi selalu dapet diskon segitu #emakemakpenimbunbuku)

Oke. Kembali ke laptop.

Awalnya suudzon ya, liat nama penulisnya yang bikin keriting lidah. Pasti nama-nama di dalamnya juga sama saja, mengeritingkan lidah. Makin mengeritingkan hati. Ternyata nggak juga. Agni, itu nama yang saya suka. Setahu saya, Agni itu nama dewa di mitos Hindu, dan dia menguasai *nanya oom Gugel dulu* api. Er... mungkinkah berhubungan dengan nasibnya nanti di akhir cerita? *psst, spoiler*

Nama-nama lain juga nggak gitu susah dibaca. Jadi, mari kita mulai membaca!


Zaman dahulu, dunia dibagi menjadi tiga area: tempat tinggal makhluk nirwana yang disebut Caelum, tempat tinggal makhluk kegelapan yang disebut Atyra, dan tempat tinggal makhluk fana yang disebut Terra.

Namun, Terra harus dilipat, karena rentan terhadap serangan makhluk Atyra dari bawah dan kecerobohan makhluk Terra hingga terpeleset ke Atyra. Maka, diutuslah seorang dewi bernama Asmaer untuk melipat Terra. Sayangnya, Asmaer kehilangan tongkatnya, Silex Luminar, ketika terjatuh di Terra. Tongkat itu pun menjadi rebutan para kurcaci, goblin, islavir, dan tentu saja Agnar sang penguasa Atyra.

Begitu tertulis di sampul belakang bukunya.

Biasanya tempat makhluk kegelapan namanya menyeramkan, tapi Atyra kok kesannya menyegarkan. Mau deh, tinggal di tempat yang namanya Atyra! Asal bukan tempat tinggal makhluk kegelapan. Hihi.

Cerita dimulai dengan Agni, bocah yatim piatu yang dipelihara paman-bibinya, 13 tahun, sedang diam-diam berburu di hutan. Langsung saja saya menebak: ini tokoh utamanya. Langsung saja saya menyamakannya dengan Frodo Baggins, Harry Potter, Eragon, Torak... Bocah-bocah yang bakal jadi tokoh utama cerita!

Ternyata, eheheh. Spoiler lagi. Baca aja sendiri ah!

Jadi, suatu hari, seorang dewi bernama Asmaer turun ke Terra dengan misi: melipat Terra. Jangan dibayangkan turun dengan anggun, bayangkan saja Mr Bean turun ke bumi. Gedebuk bakbuk gedubrak, gitu. Turun—tepatnya jatuh—di atas tubuh Agni!

Karena turunnya gedubrakan gitu, tongkatnya lenyap entah ke mana. Padahal tongkat ini yang harus dipakai untuk melipat Terra. Selain itu, jika jatuh ke tangan yang salah, akibatnya fatal.

Singkat cerita, sesuai dengan spontanitas bocah-bocah di mana-mana, Agni mengajak Maer—panggilan Asmaer—lalu Eoraed, kemudian kakak sepupunya Alviss, lalu merembet ke Rosabel, bertualang mencari tongkat Silex Luminar ini.

Seorang penyihir bisa melihat, tongkat ini sekarang ada di daerah Pykare, daerah kurcaci dan goblin. Mereka sedang bertemput memperebutkannya. Bahkan juga ada islavir, penduduk Atyra!

Bertemu siren, bertemu peri, bertemu raksasa, bahkan naga, mereka bertarung menghadapi bahaya demi bahaya. Bahkan bahaya dari dalam persahabatan mereka juga ada: siapa yang bisa mengira bahwa makhluk berbahaya itu justru adalah salah satu dari mereka?

Waktu mulai membaca, ada rasa nggak enak dengan kecepatan paragraf-demi-paragraf menyusun cerita. Mungkin karena terbiasa membaca novel tebal ya? Biasanya pada novel tebal, deskripsi juga panjang-panjang. Sedangkan di Planetes, deskripsi singkat, langsung pindah ke adegan lain.

Memang jadi nggak membosankan, tapi mungkin agak terlalu cepat juga sih. Kalau saja agak diterangkan sedikit, diberi tambahan deskripsi sedikit, sekitar 50 halaman, sepertinya boleh juga.

Lalu (ini fiksi lho! Hihi) itu sebabnya masih saja ada yang mengira dunia ini rata ya? Berarti mereka ini penduduk Terra jaman belum dilipat! Sementara mereka yang mengemukakan teori bahwa dunia ini bulat, mereka adalah penduduk saat setelah Terra dilipat! Oke! *catet* #dikeplak

Cuma kasian Pluto #pelukPluto dulu dia asalnya Barat Laut yang bahkan sampai kini tidak ingin didekati siapa pun, kemudian sekarang nggak diakui planet lagi oleh manusia penduduk ex-Terra. Huhuhu, malangnya nasibmu, nak! #pelukPlutolagi

Baydewey, kenapa judulnya Planetes ya, sementara planet-planet itu cuma disinggung sedikit? Mungkin bisa ditambah beberapa halaman lagi saat proses pembentukannya, biar judul ‘Planetes’-nya jadi kerasa nyambung dengan petualangan bocah-bocah (nggak bocah banget sih) ini.

Oke, saya menutup buku ini dengan puas. Walau ada beberapa pertanyaan, paling tidak Planetes tidak membuat saya bosan dengan deskripsi yang naujubile panjangnya, dan tidak membuat lidah saya keriting mengucap nama tokoh.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home