Blognya si Ambu

Thursday, May 29, 2014

Melihat Dari London Eye

Ketika kapsul tersebut berada di puncak kincir, kami berdua berkata, “SEKARANG!” secara bersamaan lalu kami tertawa. Itu berarti kami berdua mengikuti kapsul yang benar. Begitu kapsul turun lagi, orang-orang di dalamnya berkerumun ke arah timur laut, menghadap ke kamera otomatis yang akan memotret mereka untuk kenang-kenangan. [The London Eye Mystery - Siobhan Dowd: 9]

Premis buku ini sederhana saja: seorang anak—Salim—hilang saat menaiki London Eye, dan seluruh keluarga: sepupunya Ted Sparks; kakak Ted, Kat; ibu Ted, Faith; ayah Ted, Ben; lalu sudah barang tentu ibu Salim, Gloria; dan ayahnya (yang sudah bercerai) Rashid; sibuk mencari.

Yang tidak biasa adalah, buku ini diceritakan dari sudut pandang Ted Sparks, seorang penyandang autis!

Penulisnya, Siobhan Dowd (almarhumah) mendeskripsikannya dengan sempurna. Keluarga Sparks kedatangan tamu dari Manchester: Bibi Gloria—adik dari ibu, dengan anaknya Salim. Bibi Gloria sudah bercerai dengan suaminya, dan ingin pindah ke New York. Dengan membawa Salim, anak semata wayangnya.

Mereka akan tinggal beberapa hari di London, di rumah keluarga Sparks, lalu berangkat ke New York, walau Salim terlihat agak ogah-ogahan. Karena saat itu sedang libur, maka mereka bisa berjalan-jalan ke mana saja. Bibi Gloria menyarankan galeri seni, sedang Salim ingin naik London Eye.

Walau Ted dan Kat baru naik London Eye dua kali, mereka sangat suka!

Tapi ini awal liburan, dan cuaca cerah, sehingga antrian karcis tentu sangat panjang! Jadi, ibu dan bibi Gloria mending minum kopi saja dulu, sementara anak-anak mengantri karcis.

Bagaimana jika tiba-tiba ada seseorang menawarkan karcisnya, gratis? Dengan alasan, dia tiba-tiba ingat kalau dia klaustrofobik?

Salim sangat antusias. Kat mula-mula ragu. Tapi antrean sangat panjang, entah kapan mereka bisa naik. Ted dan Kat sudah pernah naik, sementara Salim belum pernah. Jadi, Salim menerima karcis gratis itu.

“Kita ketemu di pintu keluar ya,” kata Kat. “Di sana.”

Salim mengangguk. Kami melihatnya melalui kaca, berjalan menaiki titian hingga terlihat bayangannya saja. Dia mencapai titik tempat pintu kapsul membuka-tutup dan hanya bayangannya yang terlihat melambaikan tangan. Lalu dia buru-buru menaiki kapsul bersama orang-orang lainnya. Aku menghitung berapa orang yang masuk. Dua puluh satu, termasuk Salim. Pintu kapsul menutup di belakang mereka.

Aku melihat arlojiku. Tertera: 11.32, tanggal 24 Mei. “Dia akan sampai bawah pukul dua belas nol dua,” kataku pada Kat. [hlm 45]

Kemudian kapsul Salim mencapai posisi tertingginya, arah pukul dua belas, dan kami berbarengan berkata, “SEKARANG!” dan tertawa lagi, kali ini aku tahu apa yang lucu. Kami sudah mengikuti kapsul yang benar, kapsul tempat Salim berada. Jamku menunjukkan pukul 11.47, tepat pada waktunya.

Pelan-pelan kapsul turun ke arah pukul sembilan. Aku ingat dari pengalamanku sebelumnya bahwa mendekati akhir perjalanan kami akan difoto secara otomatis sebagai cenderamata. Pengelola London Eye menempatkan kameranya sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk memotret semua orang dalam kapsul dengan latar belakang Big Ben. Kita akan dipotret ketika kapsul berada di antara arah pukul delapan dan pukul tujuh. Aku melihat bayangan orang-orang dalam kapsul Salim berkumpul ke satu sisi menghdap timur laut tempat kamera berada. Aku melihat blitz kamera.

Lalu kami berjalan ke tempat kami janjian dengan Salim sambil menunggu kapsulnya mendarat. Kapsul Salim sampai di bawah tepat pukul 12.02. Lalu pintunya terbuka. (...)

Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Salim. [hlm 48-49]

Siobhan Dowd mendeskripsikan seluruh upaya pencarian dari sudut pandang Ted dengan sempurna. Bagaimana pikiran Ted berjalan. Bagaimana reaksi seluruh anggota keluarga. Bagaimana reaksi Ted saat ia harus melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, demi menemukan Salim—dan sebagai anak penyandang autis yang tidak banyak menyukai orang lain, ia suka Salim!

Deskripsi Siobhan juga detail, terutama karena Ted dilukiskan suka pada London Eye dan Ted juga dilukiskan tertarik pada cuaca. Kalau libur dan cuaca cerah: antrean karcis London Eye bakal panjang. Saat Ted naik London Eye bersama Kat dan ayah, cuaca berawan, dan ayah Ted mengatakan antrian tidak akan panjang. Benar saja. Kumpulan besar awan kumulonimbus berdatangan. Area tekanan rendah mendekat. Perkiraanku sekitar 990 milibar dan menurun. Jarak pandang cukup baik [hlm 105]

Jadi pengen naik London Eye!

Ada satu sisi lain lagi yang terperhatikan dalam tulisan Siobhan—dan dalam beberapa penulis Inggris lain yang kubaca: JK Rowling, Jonathan A Stroud—yaitu aspek multiras. Inggris sejak jaman dulu sudah multiras. Pernah nonton Robin Hood: Prince of Thieves? Inget saat Robin jatuh bangun bertempur dan dicuekin engga dibantu oleh Azeem, karena dia sedang shalat?

 
 

Siobhan melukiskan Bibi Gloria menikah dengan Rashid—lupa apakah dia India, Pakistan, ataukah Bangladesh. Sepertinya engga disebutin—makanya anaknya bernama Salim. Tak ada pembicaraan yang menyinggung perbedaan apapun tentang ‘kau-orang-India-sedang-aku-Inggris’. Adalah hal yang biasa bergaul kulit putih dengan kulit berwarna. Bahkan saat ayah Ted dipanggil rumahsakit untuk mengenali kemungkinan sesosok mayat adalah Salim, deskripsi tentang ‘mayat itu anak Asia’ dilukiskan tanpa nilai. Kalimat-kalimat yang muncul justru untuk mengarahkan pembaca ke ‘apakah mayat itu Salim’ dan emosi yang menyertainya...
Sejauh ini kulihat beberapa penulis Inggris melukiskan multiras itu bagai orang-orang mengenakan busana aneka warna. Kau Eropa, Asia, Inggris, Skotlandia, India, Pakistan, atau Cina itu bagaikan kau memakai baju merah, kuning, hijau, biru, putih, hitam. Beda memang, terus kenapa?
Lalu ingat pada tweet penulis @vabyo saat dia sedang jalan-jalan ke Inggris (dan bikin sirik karena trotoar-trotoarnya lebih gede daripada jalan untuk mobil). Lupa tweetnya tentang sarapan atau ngopi, yang jelas ada tweetpic-nya mengenai sebuah kafe. Lumayan penuh, dan ada salah satu pengunjung terlihat memakai jilbab.

Gambar itu memancing pertanyaan salah satu followernya: ‘Eh, itu ada yang pakai jilbab? Emang makanannya halal?’

@vabyo menjawab, banyak kok kafe yang menyajikan menu halal.

Beberapa hari belakangan ini juga ada percakapan serupa di semesta twitter, bahwa di Inggris itu sudah biasa wanita pakai jilbab. Kafe/resto halal. Bahkan kalau wajahmu terlihat Asia/Timur Tengah, saat memesan menu, pelayan sudah biasa menawari apakah butuh menu halal.

Jadi sedih.

Lahir dan besar di negara mayoritas muslim, dari kecil di sekolah selalu ditanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika. Sekarang sudah punya anak, maunya sih (dan selalu berusaha) menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika itu, tapi kenyataannya?

Pada Cina, merendahkan. Pada Nasrani, meremehkan. Jangankan berbeda, sesama muslim saja, NU-Muhammadiyah rame. Beda lebaran, ribut. Kamu shalat pakai qunut atau enggak? Kalau ada yang meninggal, kamu tahlilan engga?

Meributkan hal-hal yang berbeda.

Sementara di Inggris, pelayan nawarin menu halal karena kamu pakai jilbab atau karena wajahmu Asia/Timur Tengah!

Memudahkan orang yang berbeda!

Ted berusaha mencari Salim. Parvati jadi pasangan dansa Harry, Cho malah jadi pacar Harry. Dan Lockwood langganan donat dari toko tetangganya, Arif.

Mungkin fiksi memang isinya hal-hal yang tidak ada di dunia nyata, akan tetapi bukankah fiksi juga berangkat dari hal-hal yang ada di dunia nyata?

Jadi pengen melihat sendiri kehidupan masyarakat Inggris!

Jadi pengen naik London Eye. Melihat segala sesuatu dari atas, dari sudut pandang yang berbeda. Sungai Thames dilihat dari bawah terlihat lurus padahal dari atas terlihat berkelok-kelok. Foto otomatis saat kapsul bergerak turun, dengan latar Big Ben. Juga melihat dari atas jalan Rivington, jalan tempat rumah Ted Sparks...

PS:
...aku bertanya kenapa pemain bola masih diperlakukan seperti budak padahal perbudakan sudah dihapuskan, setelah seorang pembaca berita menyiarkan bahwa seorang pemain Manchester United dibeli oleh klub lain sebesar dua belas juta pounds [hlm 19]

Ada yang bisa jawab pertanyaan Ted? #pelukTed XDD


 ----------

The London Eye Mystery (Misteri London Eye)
Siobhan Dowd
Yoga Nandiwardhana (alihbahasa)
Gramedia Pustaka Utama, 2013
255 hlm