DINI
‘Dino hari ini pulang. Dino hari
ini pulang.’ Tak hentinya benak Dini menyenandungkan mantra itu. Sehari sebelum
tahun baru. Janjinya akan mengajak Dini ke Car Free Night Dago. Melihat
prototipe bus sekolah dan bus wisata yang dijanjikan walikota Ridwan Kamil.
Menanti tahun berganti bersama lampion-lampion di sepanjang Dago—
Dini masih di kamar kecil tatkala
deringan ponselnya terdengar.
“Duuuh, bentar dikit kenapa sih?”
pikirnya, sambil bergegas membenahi pakaiannya. Bergegas keluar kamar mandi,
menuju meja rias tempatnya tadi meletakkan ponselnya.
Deringan sudah terhenti.
Dilihatnya layar ponselnya.
Teteh Selma. Kakak sepupu Dino. Mungkin
mau memberitahu waktu kedatangan Dino? Atau malah memberitahu kalau Dino sudah
tiba?
Belum sempat Dini menekan tombol
untuk menelepon balik, ponselnya berdering lagi. Masih dari nomer yang sama.
Ditekannya tombol untuk menerima
sambungan.
“Assalamualaikum, teh Selma—“
Hanya beberapa kalimat terdengar,
dan ponselnya terlepas dari genggaman, jatuh membentur karpet dan tergeletak di
sana.
“Dini! Dini!” ponsel itu
memanggil-manggil beberapa kali.
Tak ada yang menanggapi.
-o0o-
Sayup-sayup terdengar beberapa
suara melantunkan surat Yasin. Suara wanita, suara pria. Suara berbisik-bisik meneruskan
berita, meneruskan informasi. Tak ada yang berbicara keras-keras di sini.
Sesosok jenazah, sudah
dimandikan, sudah dikafani, sudah dishalatkan, terbaring di satu sisi ruangan.
Beberapa wanita berkerudung dan pria berkopiah duduk bersimpuh di dekat jenazah,
fasih mendaraskan Yasin. Sepasang suami istri, sudah agak sepuh, duduk di dekat
jenazah, dipeluk, dihibur, ditepuk-tepuk, dirangkul, oleh semua tamu yang
datang.
Tamu terus berganti. Menyalatkan,
mendoakan. Beberapa orang menyeksamai wajah jenazah yang belum tertutup rapat
dengan kain kafan. Menyalami kedua orang tua Dino, memberi kata-kata penguat.
Juga menyalaminya.
“Yang kuat ya, Neng! Allah lebih
sayang pada cep Dino, jadi diambil
terlebih dahulu—“
Dini mengangguk, tak kuasa
berbicara sepatahpun.
Seorang perempuan setengah baya
menghampiri orangtua Dino, merangkul dan menangis bersama ibu Dino. Keluarga
jauh, pikir Dini, rasanya ia pernah sekali melihatnya di pertemuan keluarga
besar Dino.
“Dino pulang dari Makasar, habis
menyelesaikan proyeknya. Pesawatnya kan mendarat di Jakarta—teu aya nu langsung ka Bandung 1)—jadi dalam perjalanan ke
Bandung—di-di-jalan tol—“ Ibu tak kuasa lagi meneruskan ceritanya.
Kerabat itu menepuk-nepuk bahu
Ibu, memeluknya lagi, sama-sama menghapus air mata,
lalu mengucapkan kata-kata penghiburan pada Ibu.
Ia kemudian sekilas melihat pada
Dini. Ibu sepertinya mafhum, dan memberinya penjelasan, “Ieu
teh kabogohna 2) Dino. Dino
pulang itu, habis itu mau melamar—“
Dan kali ini Dini yang menjadi
obyek pelukan erat dari wanita itu. “Sing
kuat nya? Sing kuat 3) —“
berikut tepukan-tepukan di bahunya.
Dini hanya bisa mengangguk.
Ia tak bisa berbicara.
Hujan turun rintik-rintik begitu
jenazah akan dimakamkan, sehingga ustadz dari mesjid terdekat memberi saran
bahwa yang mengantar ke makam hanya kaum pria saja. Apalagi, keadaan Ibu nampaknya
sangat rentan, mudah sekali untuk pingsan.
“Mudah-mudahan besok cuaca cerah,
sehingga Ibu dan kerabat-kerabat lain yang ingin menziarahi, bisa pergi.
Sekarang, sepertinya sebaiknya Ayah dan kerabat yang pria saja yang pergi—“
Beberapa kerabat menyetujui.
Pemakaman Cikutra memang medannya tidak mudah untuk ditaklukkan oleh mereka
yang sudah lanjut usia, apalagi di cuaca seperti ini. Letaknya di perbukitan,
sehingga membutuhkan stamina ekstra untuk mencapainya.
Jadi, setelah rombongan pengantar
jenazah pergi, yang tinggal di rumah duka kebanyakan adalah wanita. Kerabat
dekat membersihkan tempat, karena nanti sore tentu akan dipergunakan untuk
tahlilan. Sebagian besar mulai sibuk di dapur, mempersiapkan makanan untuk
mereka yang sedang berduka.
Ibu meminta Dini mengantarnya, ke
kamar. Mulanya shalat. Lalu Dini menyarankan agar Ibu beristirahat.
Duduk di ranjang, bersandar pada
tumpukan bantal, Ibu perlahan-lahan bercerita tentang Dino. Masa kecilnya. Masa
remajanya. Masa dewasanya. Kenakalannya. Cita-citanya. Dini hanya mendengarkan,
sambil mengusap-usap lengan Ibu. Sesekali berkomentar pendek.
Perlahan, Ibu tertidur. Kombinasi
lelah fisik dan lelah pikiran, terka Dini. Kalau saja ia sudah berada di rumah
sendiri, tidur juga akan menjadi pilihan pertama, pikir Dini. Tapi, entah ia
bisa tertidur atau tidak—
-o0o-
Hari itu Dini pulang agak malam.
Tawaran dari salah satu kerabat
Dino untuk mengantarnya pulang, ditolaknya dengan halus. Dia sudah biasa pulang
malam, dan Buahbatu bukan daerah yang mudah sepi di malam hari. Terkadang
sampai jam 01.00 saja masih ramai. Apalagi ini jam 10.00 juga belum.
Jadi, menggunakan angkot ia
kembali ke rumah. Turun di gang kompleks. Seperti biasa, menelepon mang becak
langganan. Hahay, teknologi ponsel
memang memudahkan! Di kompleks tempat tinggal Dini, kebanyakan mang-mang becak
punya ponsel sederhana. Membagikan nomor ponsel pada konsumen aka ibu-ibu dan teteh-teteh adalah cara
praktis menjamin langganan akan tetap ada. Seperti Dini sekarang, walau di
tempat mangkal becak di depan gang sudah sepi, tetapi dengan ponsel, akan
terjamin dapat becak.
Dini turun dari angkot. Becaknya
belum ada, sepertinya si mang tadi baru terbangun. Kasihan sih, sudah tidur
dibangunkan lagi, tapi dalam situasi malam seperti ini Dini biasanya memberikan
ongkos bonus.
Melangkah ke tempat mangkal
becak, Dini duduk di tempat duduk darurat yang terbuat dari bambu. Melihat ke
sekeliling, memang suasana sudah sepi. Tapi, warung di seberang masih buka,
suara radio sayup-sayup masih mengalunkan lagu dangdut. Dini tak merasa takut.
Dari jalan besar, Dini melihat
ada dua laki-laki berjalan dengan cepat. Dari penampilannya sih, seperti habis
pergi jauh. Bawa-bawa ransel, jaket hitam resleting ditutup hingga leher, pakai
topi yang ditarik hingga menutupi mata, kacamata hitam—
—sebentar! Mereka menuju ke
arahnya?
Dini menoleh kanan-kiri, mencari
kalau-kalau ada seseorang lain di sekitarnya, yang kemungkinannya adalah teman
si dua laki-laki itu.
Tidak ada.
Jadi, kenapa dua laki-laki itu
berjalan menuju ke arahnya?
Dini tak sempat berpikir karena
keduanya sudah berada di depannya.
“Dini Nareswari?” salah satunya
bertanya, dengan suara rendah yang berat.
“I-iya. Siapa ya?”
Keduanya berdiri sangat mepet,
sehingga Dini tak kan terlihat dari jalan atau dari manapun. Karena keduanya
laki-laki, dan Dini yakin keduanya berotot, posisi mepet seperti itu
menghalangi Dini untuk melarikan diri.
“Tak perlu tahu. Mana flashdisk?”
“F-Flashdisk apa?”
“Alah, tak usah pura-pura tak
tahu! Flashdisk yang diberikan Dino!
Cepat!”
Antara kebingungan dan ketakutan,
Dini gemetar. “D-Dino? F-Flashdisk?”
Salah satu di antara mereka
merebut tasnya, dan membukanya. Menuangkan isinya dengan paksa, dan memindai
isinya, mencari-cari apakah benda yang mereka cari itu ada di sana.
Nihil.
“Pasti ada! Jelas Dino akan
memberikan padanya!” geram yang satunya. Rekannya masih mencari-cari dengan
lebih teliti. “Di tempat Surya tak ada, jadi pasti ada pada Dino—“
Dan tiba-tiba ia bergerak makin
mepet pada Dini, yang kini benar-benar ketakutan. Apa yang akan dilakukan para
berandal ini?
“Kalau wanita di desa, biasanya
menyimpan uang di kutang,” kata si laki-laki yang makin mepet itu. Si pemilik
suara rendah. “Apa kau pikir, dia juga akan menyimpannya di beha?”
Rekannya tertawa pendek, tapi
menyahut juga, “—boleh dicoba—“
I-ini percobaan perkosaan?
Dan Dini tak akan diam saja. Ia
harus melawan, berteriak atau memukul—
“HOOI! MAU APA KALIAN?”
Kedua laki-laki tadi saling
berpandangan demi mendengar suara menggelegar itu. Si mang becak! Dini
bersyukur, kedatangannya tepat waktu!
Tak mau mengambil resiko, kedua
laki-laki itu melemparkan tas Dini ke tanah, dan lari secepatnya.
Dini langsung terduduk di tanah!
“Neng! Neng! Teu nanaon 4) , Neng?”
“Enggak, mang! Aduh, nuhun pisan, mang meni pas!” 5) mau rasanya Dini memeluk mang becak
saking girangnya. Gemetar ia berdiri, memungut tasnya, memungut seluruh isi
yang tadi dikeluarkan dengan paksa dan memasukkannya ke dalam tasnya
sembarangan. Matanya mencari-cari, mungkin masih ada yang terlempar atau
terselip, tapi sepertinya tidak ada.
Gemetar juga ia naik ke becak,
dibantu si mang. Kalau tidak dibantu, sepertinya dia sudah melorot lagi di
tanah, saking lemasnya.
Perjalanan ke rumahnya seperti
berabad-abad, dan Dini terus melirik ke arah kedua laki-laki tadi berlari,
takut mereka masih akan menunggu untuk datang ke rumahnya dan mencari apa yang
mereka cari, tapi sepertinya mereka sudah jauh.
Dini turun, dan memberi si mang
bonus dua kali lipat. Memaksa agar diterima, soalnya si mang merasa tidak
perlu.
“Neng, benar-benar tidak
apa-apa?”
Dini menggeleng.
“Sepertinya mereka cuma mau
merampok, tapi saya kan jarang bawa dompet, jadi mereka nggak nemu dompet—“
Si mang becak menunggu sampai dia benar-benar masuk, mengunci pintu pagar, masuk
ke rumah dan mendengar suara pintu rumah dikunci juga, baru dia beranjak pergi.
Dini menghembuskan napas panjang.
Melempar tasnya ke tempat tidur, dan masuk ke kamar mandi. Berganti pakaian,
dan minum susu. Terduduk di sofa depan televisi sambil memegang gelas susunya.
Kejadian yang aneh.
Kenapa orang-orang itu
mengincarnya? Kenapa mereka mengetahui namanya? Kenapa mereka mengetahui
hubungannya dengan Dino? Dan, flashdisk
apa yang mereka cari? Satu lagi, apa hubungannya dengan Surya? Siapa itu Surya?
Kesemuanya berputar-putar di
kepalanya. Kusut, tak bisa dirapikan, tak bisa diambil kesimpulan.
Dini terbangun di pagi hari,
masih di sofa, dengan gelas susu terguling di lantai.
-o0o-
Hari ini, sepulang kerja ia menyempatkan diri untuk ziarah. Ternyata di
sana ada Ibu dan Bapak. Jadilah mereka pulang bersama. Sekalian Dini membantu
menyiapkan tahlilan hari kedua.
Di sela kesibukan dan di antara kerabat yang turut membantu, Dini
berusaha bisa berbicara dengan Teh Selma. Kesempatan itu
muncul saat waktunya mengatur dus-dus kue plus piring-piring untuk makan
keluarga. Hanya berdua di ruang makan, Dini berbisik lirih pada Teh Selma,
“Teteh, apa Teteh tahu nama-nama teman-temannya Dino, terutama yang di Makassar
baru-baru ini?”
Kilat mata Teh Selma menandakan memang ada sesuatu yang penting yang
ingin ia bicarakan. Apalagi, tanpa basa-basi lagi, Teh Selma langsung bertanya
balik, “Ini menyangkut Surya ya?”
Kaget, Dini balik bertanya lagi. “Jadi, memang ada temannya Dino yang
bernama Surya? Dan kenapa Teteh tiba-tiba menanyakan itu?”
Teh Selma menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada yang
mendengar dulu. “Benda-benda Dino kan disimpan Ibu. Tadi malam, Ibu minta
membukakan ponsel Dino,
ingin melihat pesan-pesan yang masuk. Ada miscall yang terus menerus,
dan SMS yang bertubi-tubi. Sepertinya saat orang itu menelepon dan meng-SMS itu
adalah sekitar saat terjadinya kecelakaan Dino.”
Teh Selma menarik napas, “Ternyata isi SMS dari kantor tempat Dino
kerja, cabang Surabaya. Saat itu mereka belum tahu keadaan Dino.
Mereka mengabarkan bahwa—rekan Dino yang bersamaan pulang dari proyek di
Makassar, Surya, kecelakaan, dan meninggal dunia di tempat—“
Horor menyelimuti raut wajah Dini.
“Da-dalam saat yang bersamaan?”
Teteh Selma mengangguk. “Aku cuma bilang pada Ibu, kalau ini SMS dari
kantor Surabaya. Tapi aku tak mengatakan yang selengkapnya. Tentunya, siang itu
juga kantor Surabaya tahu kalau Dino mengalami kecelakaan—“
“Dan—menurut Teteh, apakah kecelakaan ini, ada kemungkinan—disengaja?”
bisik Dini sangat lirih.
Teh Selma mengangguk pelan. “Aku tidak berani bilang kalau ini
disengaja. Bukan polisi, dan tidak ada akses untuk mengetahui bagaimana
kronologisnya kecelakaan. Yah, sebenarnya, kalau kita ngotot pengen tahu,
polisi pasti akan memberitahu dengan detail. Tapi, bagaimana bisa, dua-duanya
kecelakaan, dan meninggal?”
Dini berhenti menyusun dus-dus kue, dan mencoba berpikir. “Apakah—apakah
mereka berdua sedang menyusun satu hal yang sama, Teh Selma? Maksudku, proyek
yang di Makassar itu kan proyeknya banyak orang. Ada banyak yang terlibat. Nah,
apakah Dion dan Surya juga punya proyek—atau katakanlah sesuatu—yang hanya
diketahui berdua?”
Lagi-lagi Teh Selma balik bertanya, “Kenapa kau bisa punya pikiran
seperti itu? Oh ya, tentu saja. Sebagai kekasih, kau akan punya akses untuk
mendapat informasi langsung dari Dino cukup besar. Tetapi, kau tadi kan nanya
Teteh?”
Terdiam sejenak, Dini menyahut, “Kalau untuk teman-teman di proyek
Makassar ini, Dino cukup banyak bercerita. Kebanyakan cerita-cerita sambil
lalu. Tak ada yang serius. Nama Surya juga disebut sesekali, sama dengan
nama-nama rekan-rekannya yang lain.”
Sayang mereka tak bisa terus bercakap, karena beberapa kerabat masuk ke
ruang makan, dan turut membantu. Sampai saat pulang, Dini maupun Teh Selma tak
bisa menemukan kesempatan untuk bercakap berdua lagi.
Memutuskan untuk berbicara esok saja, Dini kembali pulang malam, kembali
menolak diantar. Tapi kali ini, ia sudah memesan mang becak untuk sudah siap
menjemput di ujung jalan tatkala ia turun dari angkot.
Jadi, aman. Lagipula, malam ini
malam tahun baru. Di mana-mana ramai. Di lapangan bahkan ada panggung.
Turun dari becak, Dini membayar
seperti biasa. Membuka kunci. Masuk. Menutup pintu dan menguncinya. Menyalakan lampu, melempar tasnya, dan terduduk di
sofa, menyandar sambil memejamkan mata.
“Jam segini baru pulang, Din?”
Serasa copot jantung Dini mendengar suara itu, di rumah yang seharusnya
kosong ini.
“Di-Dino?” tak percaya ia
membuka mata. Meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi, tidak sedang
melihat hantu.
Sosok di hadapannya itu tertawa renyah. Seperti kebiasaannya kalau
sedang menertawakan Dini yang sedang lemot.
“I-ini beneran kamu? Dino? Lalu, siapa yang kemarin di—“ beribu
pertanyaan berseliweran di kepalanya.
Dino mengangguk. “Akan aku jelaskan. Sekarang, bikin minuman dulu, gih.
Bikin teh manis yang anget. Jangan kopi, nanti kau nggak bisa tidur, lagi—“
Nadanya memerintah, tapi dia juga
mengikuti Dini ke dapur, menurunkan dua buah mug dari lemari, dan memperhatikan
Dini dengan seksama tatkala Dini menyeduh dan mengocek teh. Selesai, dia mengambil kedua mug itu, dan mengikuti
Dini kembali ke ruang tengah.
Duduk berdampingan di sofa, Dino memberikan mug yang satu pada Dini, dan meniup-niup teh di mug
yang satu lagi. Setelah berasa agak hangat, dia menyeruput tehnya, agak lama. Baru ia menaruh mugnya di meja. Bersandar, sambil
tangannya menarik halus ikal-ikal rambut Dini, yang posisinya menjadi lebih
maju darinya.
“Jadi,” sahutnya hati-hati, “—aku
pulang dari Makassar, sedang menempuh tol Cipularang, kemudian kecelakaan itu
terjadi, dan aku meninggal. Begitu kan?”
Dini mengangguk. “Apa-apakah memang kau tidak kecelakaan? Lalu, siapa
yang dimakamkan kemarin? Mengapa bisa begitu mirip denganmu?”
Dino menggeleng pelan. “Tidak. Itu memang aku. Terhitung kemarin, aku
sudah mati—“
“Aku tidak mengerti—“
“Aku jelaskan. Dengar baik-baik ya—“ Dino menarik tubuh Dini merapat,
dan melingkarkan tangannya ke pinggangnya.
“Pada awalnya, ada beberapa
manusia ‘gila’ yang hobinya mengutak-utik berbagai teori-teori kategori ‘tak
mungkin’. Ada mereka yang mudah menyerah, tetapi juga ada yang keukeuh, tak menyerah.”
“Tentu saja, kami tak mungkin meneliti teori-teori ini secara
terang-terangan. Kebanyakan meneliti secara diam-diam, dan sesudah selesai jam
kerja resmi—“
“—dan itu sebabnya kau sering tak pulang dari lab, iya kan? Sebentar,
apakah kau termasuk ke dalam species ‘manusia-manusia gila’ itu?”
Dino terkekeh. “Sori, kalau aku sering membohongimu, nggak jadi apel ke
sini dengan dalih kerjaan belum selesai. Padahal, aku melanjutkan dengan
penelitian lain—“
Dini manyun. Tetapi
diteruskannya menyimak.
“Oke, jadi singkatnya, kami menemukan cara berpindah waktu—“
“Mesin waktu?” potong Dini.
“Yah, semacam itulah. Kalau aku terangkan secara detil, mungkin akan
panjang. Belum tentu kau akan mengerti. Tapi, secara singkatnya, bolehlah
disebut mesin waktu.“ Dino tersenyum. Tangannya yang satu disusupkan ke dalam
saku jaket, dan keluar dengan sebuah flashdisk.
Kecil, berwarna hitam, dengan tali gantungannya yang bertuliskan NARUTO lengkap
dengan lambang desa Konoha.
“Ya ampun! Itu tali gantungan—“ tawa Dini tiba-tiba menyembur. Entah
sudah berapa kali mereka membicarakan hobi Dino sedari remaja yang tak mau
hilang-hilang ini: membaca manga dan menonton anime-nya.
“Biar Naruto yang akan membantumu menjaga isi flashdisk ini,” sahutnya. Serius.
Dini turut serius. “Dino, flashdisk
inikah yang dicari dua laki-laki kemarin malam?”
Wajah serius Dino bertambah
mendengar pertanyaan Dini. “Secepat itukah mereka datang? Apa yang mereka
lakukan?” ia mempererat rangkulannya, “—kau diapakan? Kau tidak apa-apa?”
Dini menggeleng. “Tidak, mereka tidak sempat melakukan apa-apa. Hanya
sempat mengobrak-abrik tasku, tapi sebelum mereka bertindak lebih jauh, ada
mang becak yang datang—“
“Syukurlah,” wajah
Dino menyiratkan kelegaan.
Ia meneruskan. “Di flashdisk
ini aku menuliskan semua formula yang kutemukan. Bukan hanya aku yang bekerja,
ada dua lagi sebenarnya—“
“Surya?”
Dino mengangguk, “Bagaimana kau tahu?”
“Surya juga meninggal, Dino,” Dini mendadak merinding. Gemetar menyebut
nama mereka. “Sama denganmu, meninggal dalam kecelakaan—“
Dino membeku. Sesaat. Namun,
sepertinya ia bisa mengatasi keadaan. Seolah bisa meredakan getar, Dino
mempererat pelukannya. “Saat aku melakukan percobaan alih-waktu, aku juga shock mendapati kenyataan bahwa aku
beralih ke waktu yang salah. Begitu pindah,
yang kutemukan di rumah justru kenyataan bahwa—aku sudah meninggal. Melihat Ibu
dan Ayah di samping jenazahku, dan di samping mereka, duduk juga kau.”
Hening beberapa saat. Saling bercakap tidak dalam bentuk kata.
Tapi beberapa saat kemudian, Dino meneruskan. “Aku dan Surya bekerja
sama menemukan formula ini. Bergantian kami menguji-cobanya. Kemudian masuk
Rudy. Aku tak begitu jelas kenapa ia bisa bekerja sama dengan kami, yang aku
tahu, sepertinya ia sangat antusias dengan proyek ini. Aku bahkan tak tahu
kalau ia sudah menghubungi beberapa pihak dengan modal kuat, untuk mendanai
proyek ini—“
“Bukankah itu bagus, ada sponsor?”
Dino menggeleng. “Tidak bagus, kalau pihak yang mensponsori itu berniat
tidak baik—“
“Eh?”
“Coba bayangkan. Kalau kau ingin membunuh seseorang. Pakai saja teknik
alih-waktu ini, bunuh orangnya, dan kembali lagi ke waktu aslinya. Kemudian,
jika ada yang mencoba menuduh melakukan pembunuhan, dia tentu saja bisa dengan
mudah menyebutkan alibinya.”
Dini nampak berpikir keras, tetapi mulai mengangguk. “Demikian juga
kalau ada perampokan—“
“Betul.” Dino mengamini. “Dan lebih kejam lagi, kalau teknologi ini
disembunyikan. Hanya satu pihak yang mengetahui tekniknya. Dengan mudah ia bisa
melakukan berbagai kejahatan di sembarang waktu, dan kembali lagi dengan wajah
tak berdosa di waktu asalnya—“
Dini bergidik.
“Tapi, hal yang sama juga berlaku jika yang mempergunakannya tidak
menggunakan untuk sesuatu yang jahat.”
“Eh? Bagaimana bisa?”
“Katakanlah teknologi ini sudah merata penyebarannya. Lalu, aku akan
menemuimu di masa datang. Tapi kau juga ingin menemuiku di masa lalu. Apa yang
akan terjadi?”
Dini mengangguk. “Yang akan terjadi adalah kekacauan. Chaos—“
Dino menghela napas. “Karena itulah, aku berusaha merahasiakan penemuan
ini. Aku dan Surya. Tak tahunya—“
“Ada apa dengan Rudy?”
“Kemungkinan terbesar yang terjadi adalah, Rudy terlalu rakus. Atau
terlalu ambisius. Formula kami yang belum selesai, sudah ditawarkan pada orang
lain. Yang aku tahu, samar-samar, mereka adalah mafia yang menawarkan jasa apa
saja pada para pejabat yang terlibat kasus. Menghilangkan barang bukti,
menakut-nakuti para saksi, dan sebagainya.”
“Dan Rudy—“ sepertinya Dini sudah bisa menebak jalan hidup Rudy.
“Ya. Mayat Rudy ditemukan di pantai Losari, pagi ketika kami sedang
jalan pagi. Setelah malam sebelumnya kami mengira Rudy tak kembali karena asyik
menikmati kehidupan malam Makassar—“
Malam semakin larut.
Dino memecah keheningan, “Sebenarnya,
setelah kami menemukan jenazah Rudy, kami sudah menyiapkan diri—“
“Bagaimana bisa kalian mengatakan
‘menyiapkan diri’, menyongsong kematian, bagaikan menghadapi ujian sekolah
saja—“ emosi Dini mulai naik.
Dino seperti tak mendengar “Kupikir
tak aman menyimpan flashdisk ini
padamu. Kalau mereka sudah mulai menggunakan cara pembunuhan pada Rudy, pada
diriku, dan pada Surya, sepertinya mereka juga tak akan segan-segan
menggunakannya padamu atau orang-orang dekat kami. Berarti ini harus disimpan
di suatu tempat, tetapi kau juga harus tahu di mana menyimpannya—“
“Bagaimana caranya?”
“Jangan lupa, aku berasal dari
masa lalu, Dini, walau hanya berbeda seminggu. Aku akan kembali ke masa lalu,
menyimpannya di suatu tempat, dan memberitahumu tempat penyimpanannya, lewat
media yang aman.”
Menarik napas panjang, Dini
menyahut, “—kalau kau memang sudah menemukan cara beralih-waktu, kalau kau
datang ke masa kini, dan kemudian mengetahui bahwa kau sudah meninggal di masa
ini, kenapa tidak kau coba menghindari, Dino? Apakah—“ Dini bersungguh-sungguh
menatap wajah kekasihnya, “—apakah memang terlarang untuk menghindari penyebab
kematian jika ia sudah datang?”
Kali ini Dino yang menarik napas
panjang. “Kematian tidak bisa dihindari, sayang. ‘Dan kemudian dia menyalami Kematian sebagai teman lama, dan pergi
bersamanya dengan senang, dan sebagai teman sederajat, mereka meninggalkan
kehidupan ini’—“
Tak bisa ditahan, Dini tertawa.
“Itu kutipan dari The Tales of Beedle the Bard, Dino! Katanya kau tak suka baca
Harry Potter—“
Dino nyengir. Tapi tak lama,
berubah menjadi serius. “Memang, begitu aku tahu aku akan mati dalam waktu
singkat, rasanya ingin menghindari penyebabnya. Tetapi, kalaupun aku
menghindar, takdir tentu akan datang dengan cara yang lain, kan? Kalau tanggal
itu, jam itu, aku sudah ditakdirkan untuk dijemput oleh Yang Kuasa,
bagaimanapun caranya, aku tetap akan mati. Tak ada gunanya menghindari jalan
tol Cipularang, karena aku mungkin akan mati di jalur Puncak, atau di manapun
aku mencoba menghindar—“
Dini menyusup ke dada Dino.
Mencoba menghirup sebanyak mungkin aroma Dino yang ia kenal, sebanyak mungkin,
sebelum ia terlambat—
“Jadi, di mana aku harus
menyembunyikannya?” Dino berpikir keras.
“Tempatnya harus tak mudah
diketahui, tapi juga tak melibatkan dirimu, atau orang-orang terdekat lainnya—“
Keduanya terdiam.
“Tapi, aku sudah terlanjur tahu,
Dino. Dan sekali tahu, tak bisa dibuat menjadi sama sekali tak tahu, diam tak
berbuat apa-apa—“
Dino masih terdiam.
“Akan kupikirkan caranya—“ ia
memeluk Dini lagi, mengecup keningnya, “sementara itu, aku juga minta maaf—“
“Lho?”
“Karena aku—meninggal.” Dino
menghela napas panjang. “Aku tahu kau sudah terbiasa ditinggalkan orang tua,
dan karenanya terbiasa hidup sendiri. Secara logis, kau akan terbiasa juga
dengan ditinggalkan olehku. Tapi kehidupan tidak hanya terdiri dari hal yang
logis—“
Dini merasa rambut di atas
pelipisnya basah. Sesuatu menetes padanya. Menoleh ke atas, baru terasa kalau
mata Dino, tepat di atas pelipisnya, adalah sumbernya.
“Andaikan—“ Dino mencoba meneruskan dengan
suara yang parau, “—kau masih ingat waktu kita nonton ‘Time Traveller’s Wife’?
Kita bisa bertemu berkali-kali—“
“Tapi Henry tidak bisa
mengendalikan kapan dia bisa berpetualang ke waktu yang lain—“
“Ya,” Dino mengangguk pelan,
“Andaikan saja Henry bisa mengendalikan, kapan dia beralih waktu, ke mana ia
pergi, kapan ia bisa kembali lagi. Kalau tidak salah, anaknya kan bisa ya,
mengendalikannya?”
Dini menyandarkan kepalanya lagi
di dada Dino. Alangkah menyenangkan mengingat kembali apa yang sudah mereka
lalui bersama-sama.
“—tapi Henry itu mengalami
kelainan genetik, sementara apa yang aku dan Surya teliti ini jauh berbeda—“
Dino masih menerawang.
“Kau sendiri yang bilang tadi,
bahwa kalau teknik yang kau temukan ini dipakai, akan banyak timbul chaos.”
Dino mengangguk.
“Kalau sampai itu dipatenkan,
sepertinya harus dibuat undang-undang untuk mengatur kapan seorang bisa beralih
waktu, dan ke mana—“
“Maksudnya, ‘ke kapan’? Hihi.”
Doni tersenyum. “Iya betul. Harus
diciptakan satu kosa kata baru lagi nanti. Dimensi baru—“
“Hmm,” Dini membayangkan, “harus
ada peraturan, berarti akan banyak juga pelanggar peraturan—“
“Peraturan diciptakan untuk
dilanggar—“ dan tawa pun berderai lagi.
Tapi sesaat Dino terdiam lagi.
“Ada apa?” Dini melihat
terdiamnya Dino yang tiba-tiba.
Dino menghela napas. “Kalau saja
kita bisa alih-waktu kapan saja kita mau, ya. Maksudku, sesering yang kita
inginkan—“
“Teknologi yang kau dan Surya
teliti itu, memangnya tidak bisa?”
Dino menggeleng, perlahan. “Bukannya
tidak bisa. Tetapi penelitiannya belum sampai ke sana. Karena itulah, aku ingin
ada orang yang tepat, yang bisa diberikan padanya flashdisk ini, agar ia kembangkan lagi. Bukan orang yang justru
akan menyalahgunakannya.”
Menghela napas lagi, “Sebenarnya
aku punya satu ide. Agar pihak yang punya kepentingan buruk, tidak
mengejar-ngejarmu lagi, tapi sekaligus agar flashdisk ini bisa aman, tak
terdeteksi ada di mana—“
Dini memandangnya, “Tapi—biasanya
kau kemudian menambahkan kata ‘tapi’ itu—“
Tersenyum kecil, Dino balik
memandangnya juga. “Ya. Ada tapinya. Rencana ini harus benar-benar disusun
secara detil. Aku tak mau ada kesalahan sedikitpun. Ada kesalahan, dan semua
tujuan kita akan hancur lebur—“
Dari jauh terdengar suara ronda
malam memukul tiang listrik.
Dino memandang jam tangannya.
“Dini—“
“Jangan bilang apa-apa. Aku tahu,
waktunya sedikit—“
Dino mengangguk. “Karena aku
datang ke Bandung pada hari ini, aku tidak boleh melewatinya, tidak boleh lewat
tengah malam. Lewat tengah malam, berarti sudah masuk ke hari yang lain—“
Dini memeluknya erat. Tapi,
sejenak dilepasnya pelukannya, “Kau kok jadi seperti Cinderella sih?”
Tertawa berbarengan berderai.
Tetapi mendadak keduanya terdiam
lagi.
Dini menghela napas. “Ya. Aku
tahu itu.” Menghela napas lagi. “Jadi, kau tetap akan membiarkan—semuanya
seperti apa adanya?”
Dino mengangguk. “Ya. Maafkan
aku, Din, tetapi—“
Dini memeluknya erat. “Aku tahu.
Aku tahu. Walau bagaimana, ini lebih baik. Lebih baik kau datang dan
menjelaskannya padaku. Segalanya menjadi lebih baik, Dino—“ ia menelusupkan
kepalanya di dada Dino.
Dino mengecup puncak kepala Dini
hati-hati, “Aku mencintaimu, Dini. Selalu.”
“Aku juga mencintaimu. Selalu—“
Dino mengecup bibirnya perlahan,
lama. Seolah berusaha menghapal setiap milimeternya, memasukkannya ke dalam
memori hatinya.
-o0o-
Ia melangkah meninggalkan
pemakaman. Menuju rumah keluarga Dino.
Seperti biasa juga, di sana sudah
banyak kerabat. Ada beberapa yang datang dari luar kota sejak hari kematian
Dino, dan baru akan pergi setelah tahlilan hari ketujuh ini. Menemani Ayah dan
Ibu.
Dini mengucap salam, menyapa
beberapa kerabat, dan menuju kamar Ibu, seperti biasa. Sudah ada Teh Selma di
sana, dan lega melihatnya datang.
“Tuh Dini, sudah datang—“ sahut
Ibu, nampak gembira. Menyambut Dini, cium pipi dan memeluknya. “Dari kantor?”
Dini menggeleng, “Dari makam—“
sahutnya pelan. “Ayah mana?”
Ibu menjulurkan kepala ke arah
ruang tamu, “Tuh. Ada tamu dari kantornya Dino cabang Makassar. Juga ada
beberapa polisi. Katanya—ada bom di kantor Dino. Euh, maksud Ibu, ruang yang
dulu dipakai Dino untuk kantor—“
“Oya? Ada yang luka?” Dini
berusaha mencegah raut wajah ‘sudah tahu’-nya muncul, dan menggantinya dengan
wajah kaget.
“Katanya sih tidak ada. Tapi,
karena ada ledakan itu, polisi jadi bisa menangkap tersangka pembunuhan Dino
maupun Surya—“ Teh Selma menjelaskan.
“Lho, kok begitu?”
“Saat peledakan itu, ada kaki
tangannya yang sedang berusaha masuk ke bekas ruang kerja Dino. Pas meledak.
Entah apa mereka bermaksud meledakkan ruangan itu, atau bagaimana. Entah apa
mereka salah hitung waktu untuk meledakkannya, entah bagaimana. Yang jelas, dua
orang itu terkena ledakan, dan luka parah. Masuk rumah sakit. Waktu polisi
sedang menangani, menanyakan identitas, sekantor tak ada yang tahu siapa
mereka. Diusut-usut, ternyata nyambung dengan kecelakaan Dino maupun Surya—“
Dini mengangguk-angguk. “Jadi,
polisi tidak menganggap kecelakaan Dino saat itu sebagai kecelakaan biasa?”
“Tidak. Setelah diteliti, unsur
sabotasenya besar, menurut mereka—“
Dini terduduk. Lemas. Dino
ternyata berhasil merencanakan dan melaksanakannya dengan seksama, dengan
teliti, sehingga tepat tujuan.
“Iya, nak. Dino bisa tenang di
sana. Orang-orang yang merencanakan pembunuhannya sudah ditangkap,” Ibu memeluk
Dini. Erat-erat.
Oya. Bisa-bisanya Dino menangkap
pembunuhnya sendiri, batin Dini, dan dilaksanakan dari ‘alam sana’.
Dini balas memeluk Ibu.
Erat-erat.
SELESAI
1) teu aya nu langsung ka Bandung: tidak ada yang langsung ke Bandung
2) Ieu teh kabogohna Dino: Ini pacarnya Dino
3) sing kuat nya?: yang kuat ya?
4) Teu nanaon: tidak apa-apa
5) nuhun pisan, mang meni pas: terimakasih sekali, mang pas banget