Coba dipikir-pikir. Asalnya musibah gempa/tsunami di Aceh/Nias. Lalu ada gempa tanpa tsunami di Nias (untuk bedanya kenapa ada gempa dengan tsunami dan gempa tanpa tsunami bisa dilihat di
sini). Gempa di Padang. Habis itu gunung yang menunjukkan tanda-tanda mau meletus (gempa vulkanik, bukan tektonik lagi) di gunung Talang, Solok, Padang.
Secara berurutan terjadi juga gempa di daerah Jawa Barat, gunung Anak Krakatau, gunung Tangkuban Perahu (sampai sekarang masih ditutup), bahkan gunung Halu. Banyak gempa-gempa kecil (daku sendiri nggak ngerasa saat gempa Anak Krakatau/Jakarta-Liwa, gempa Sukabumi, dan gempa terakhir di g. Halu itu …) terasa di daerah-daerah sekitar gunung berapi. Memuntahkan freatik, debu.
Apakah ini tanda-tanda bencana besar? Apakah ada hubungannya antara gempa tektonik di ujung utara Sumatra dengan gempa-gempa vulkanik di ujung Barat Jawa? Apa ada geolog atau ahli gunung berapi yang bisa memberikan keterangan (dengan bahasa awam tentunya) sehingga kami bisa paham, apa sebenarnya yang terjadi?
*****
Akupuntur. Ini aku ketahui sebagai pengobatan dari Cina. Kemudian aku mencobanya sendiri. Juli 2004 kemarin, sekeluarnya dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mencobanya.
Tadinya dokter syarafku mengharuskan aku dioperasi. Kepala dibedah, dipasang saluran/selang untuk mengalirkan cairan dari kepala ke lambung. Ini berlangsung sekitar 6 bulan. Aku harus selalu dalam keadaan higienis. Musti steril gitu. Mana bisa kepala dibedah, trus hidup steril, dengan tiga anak kecil yang super aktif kaya’ gini?
Lalu aku mencoba akupuntur. Mulanya di rumah, yang ke rumah pak Husein. Trus setelah aku bisa jalan, aku ke rumahnya/tempat prakteknya pak Agus. Sekarang lumayan, 2x seminggu, dari 2x sehari! Sekarang untuk melancar jalanku dan menghaluskan syaraf tanganku (aku sekarang sering typo, padahal kan dulunya nggak pernah, huhuhu … ngelirik
Molly)
Akupunturku pak Agus, dan asistennya pak Endang, bukan sinshe (lirik
Trinie). Mereka bukan orang Cina, tetapi orang Sunda. Dalam prakteknya, cuma jarum aja. Nggak ada jamu-jamuan. Cuma jarum, plus pemanasan bagi yang memerlukan (pakai semacam lampu yang dipancarkan dalam fisioterapi).
Pak Agus punya prinsip, pada umumnya semua penyakit bisa disembuhkan oleh tubuh sendiri. Karena itu, dia menusuk semua titik untuk mengoptimalkan organ-organ tubuh. Biarkan semua organ itu bekerja secara maksimal. Misalnya, seperti kanker. Dia akan menusuk titik-titik tertentu guna menggiatkan pembuatan sel-sel normal, dan mematikan sel-sel abnormal. Dan juga menusuk titik-titik tertentu untuk menormalkan organ-organ tubuh tertentu, seperti misalnya: lambung, ginjal, dll.
Pak Agus juga menyarankan agar aku mandi air dingin. Bukan air hangat, seperti yang biasa aku lakukan sejak pulang dari rumah sakit. Jadi sejak Juli 2004, aku mandi air dingin, hehe. Tapi air memang terasa hangat kalau kita mandinya subuh-subuh. Pak Agus yang bilang, sebelum jam 6 itu airnya terasa hangat .. jadi mandilah air dingin ya? Hehe.. suamiku juga sekarang terbiasa mandi air dingin, tadinya dia suka mandi air hangat, biarpun lagi nggak sakit. Yang terasa, kalau mandi dengan air hangat, cepat masuk angin … Dan bukan cuma kata pak Agus aja, tetapi sebelum aku sakit juga, memang jarang masuk angin, beda dengan suamiku yang dikit-dikit masuk angin…
Pak Agus sendiri itu sarjana, S1 dari … biologi apa kimia ya? Dan jangan salah, pak Endang itu S3 dari Matematika! Pak Husein sendiri memang tidak sarjana, tetapi dia pensiunan guru Bahasa Sunda! Coba buka buku Arif (buku tambahan untuk SD) bagian bahasa Sunda-nya, pasti ada Husein Sastrapermana… Pak Agus sendiri kerja di .. apa lah namanya. Pokoknya perusahaan pembuat chip. Sedang pak Endang dosen di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, bukan Universitas Padahal IKIP lho, hehe)
Trinie, mau tusuk jarum di pak Agus? Hehe..
Trus, pak Agus sendiri (dan pak Endang juga, sedikit-sedikit) bisa membaca wajah. Bukan mau meramal, lho, tapi membaca wajah untuk melihat, ada penyakit apa saja yang ada di dalam tubuh kita. Kalau pak Agus, cukup dengan mata sendiri (tetapi dia juga suka minta hasil lab, untuk mengukuhkan pendapatnya), kalau pak Dioni (yang pijat refleksi) membacanya dengan chart yang didekatkan di dekat mata. Kadang juga dia memotret mata kita untuk melihat lebih jelas.
Itu namanya Iridology, ternyata. Aku baru tahu, malah ada semacam yayasan di Bandung untuk melihat mata ini, khusus buat diagnosa aja, nanti pengobatannya terserah, mau ke dokter, mau ke pijat, mau ke mana…
Iridology mendiagnosa gangguan-gangguan di dalam tubuh. Penyebab gangguan yang timbul, akan terekam oleh mata kita. Sistem syaraf otonom yang melemah dapat dideteksi. Lancar atau tidaknya pembuluh darah. Seluruh gangguan diinformasikan oleh 28.000 sistem syaraf. Dan gangguan-gangguan itu direkam pada iris mata (selaput pelangi mata). Coba lihat di
sini dan di
sini tentang Iridology.
*****
Dalam hal menulis, biasanya para pakar bilang, jangan malu-malu. Kalau bisa, anter sendiri naskah. Dan jangan lupa tanyain lagi beberapa saat kemudian.
Nah, ini ada kata sekretaris (biasanya yang suka nerima naskah itu sekretaris ya?) dari Majalah Mangle. Majalahnya berbahasa Sunda, jadi aku terjemahin nanti ya:
“
Bade nyanggakeun naskah … kanggo carnyam sareng carpon. Sok neundeun naskah sabebed … Carnyamna 20 kali muateun … carponnya aya sababaraha judul. Iraha tiasa dimuatna? Janten sabarahaeunnya, jumlah-jamleh sadayana? … Diilikan, dibulak-balik, diketikna meni ngentep jeung renyek. Kenca-katuhu dibeakkeun, taya lolongkrang pisan. Nu disebut carpon teh ngan dua lambar. Magar naskah picarnyameun the moal leuwih ti 20 lambar…
Aya oge … mikeun naskah beunang ngetik, rapih. Dijilid dialus-alus. Dipasrahkeun nurutan prosedur nu ilahar. Pagetona geus kurunyung deui datang, nanyakeun naskahnya rek dimuat dina MANGLE nomer sabaraha? … Heuleut dua poe geus jebul deui, naha naskahna enggeus dipariksana? .. Bulak-balik nanyakeun …
Aya nu ngaganggu, ngan nelepon bae hayoh, nananyakeun naskah, rek iraha dimuatnya.
Dina bukuna ‘The Truth About Publishing’ nu geus diterjemahkan kana basa Indonesia ku Zaglul Effendi Salam make judul ‘Penerbitan Sewajarnya’ ceuk Sir Stanley Unwin kudu dipahing pisan nananyakeun naskah, boh ku telepon, komo jeung mamaksa hayang dimuat mah…”Terjemahannya begini:
“
Mau menyerahkan naskah … untuk cerbung dan cerpen. Lalu menyimpan naskah setumpukan… Cerbungnya 20 kali muat … cerpen ada beberapa judul. Kapan kira-kira bisa dimuat? Jadi, dijumlahkan, berapa jumlahnya (honornya)? … Dilihat, dibolak-balik, mengetiknya rapat. Kiri-kanan dihabiskan, tak ada margin. Yang disebut cerpen hanya dua lembar. Yang disebut naskah cerbung paling hanya 20 halaman…
Ada juga … yang mengetiknya rapi. Dijilid, dibuat bagus. Diberikan melalui prosedur semestinya. Lusanya dia sudah datang, menanyakan naskahnya akan dimuat di Mangle nomer berapa? … Dua hari kemudian datang lagi, naskahnya sudah belum diperiksa? Bolak-balik menanyakan…
Ada juga yang mengganggu, selalu menanyakan naskah lewat telpon, kapan bisa dimuat?
Dalam buku “The Thruth About Publishing’ yang sudah diterjemahkan Zaglul Effendi Salam ‘Penerbitan Sewajarnya’ menurut Sir Stanley Unwin tidak boleh menanyakan naskah, apakah dengan telepon, apalagi dengan memaksa ingin dimuat…”Jadi, bagaimana dengan saran-saran agar kita memberikan sendiri naskah, lalu rajin-rajin menanyakan naskah kita? Hehe..