Kereta Api
Saat itu Ambu lagi ikut Bapak keliling Indonesia. Di Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan Kupang, sudah barangtentu tidak ada kereta api. Tapi kalau sedang liburan di Bandung, kakek suka sekali mengajak cucunya ini ke stasiun kereta atau mendongeng hal-hal yang berkaitan dengan kereta api.
Salah satu hobiku saat itu: suka sekali kalau sedang naik mobil, pintu palang kereta menutup menandakan akan ada kereta api lewat. Antusiasku saat itu: menghitung jumlah gerbong yang lewat. Kecewa sekali kalau yang lewat hanya lokomotif yang hendak memutar saja XD
Dari cerita-cerita kakek, cita-citaku saat itu yang berkaitan dengan kereta: menghitung gerbong KA Babaranjang. Cita-cita itu baru terpenuhi saat aku menikah. Selesai pesta, mengantar kakak ipar ke Bengkulu pakai mobil (sekalian bulan madu di pantai Bengkulu, wkwk!) dan di suatu persimpangan, bertemulah daku dengan kereta nan panjang itu. Langsung saja menghitung gerbongnya: lokomotif 2, gerbong 44. Yaiy!
Ini cuma gambar dalam Game yang diambil tanpa ijin dari situs ini, tapi setidaknya memberi gambaran sebagaimana panjangnya Babaranjang itu.
Waktu sedang KKN, Ambu dapet di Jati, Ciranjang, Cianjur. Sering pulang ke Bandung, pakai kereta Cianjur-Bandung, karcisnya cuma 600. Dicampur dengan tukang kol dan kambing, wekekek! Herannya, kalau teman-teman lain pulang, cerita mereka selalu: naik kereta pasti pasedek-sedek. Berdesakan. Heran. Padahal kalau Ambu, bahkan kalau pulang Senin pagi berbarengan dengan pegawai yang kerja di Bandung-tapi-punya-rumah-di-Cianjur, ga pernah tuh berdesakan. Selalu dapet tempat duduk, enak dan suka ngobrol dengan penumpang lain.
Senangnya Ambu kalau naik kereta adalah: pas lokomotif membelok ke arah di mana Ambu duduk. Ambu kan jadi bisa melihat kepala kereta itu membelok! Padahal kan udah sering ngeliat lokomotif, tapi ada sensasi tersendiri melihat kepala kereta membelok! Apalagi kalau di atas jembatan yang di bawahnya ada airnya. Keren!
Jadi rada sedih juga waktu KA Parahyangan dihapus. Walau sekarang jarang naik kereta, masih terbayang senangnya naik Parahyangan. Waktu di Ujung Pandang, liburan ke Bandung cuma berdua dengan adik (Ambu baru kelas 1 SD, berdua dengan adik dikirim pake pesawat :P) dijemput Kakek di Jakarta, naik Parahyangan ke Bandung, tapi ternyata di tengah jalan (lupa di mana) ada kereta lain anjlok jadi kereta kita tak bisa meneruskan perjalanan. Jadi disambung dengan bis yang diusahakan oleh PJKA. Nyampe di rumah di Bandung, jam 2 pagi, padahal abis itu mau saur, puasa hari pertama. Seneng aja, dasar anak-anak!
Berikut artikel dari Pikiran Rakyat tentang Parahyangan ini:
Kereta Api Parahyangan Tinggal Kenangan
Oleh Suwardjoko P. Warpani
Bukan April mop karena sudah memasuki akhir April. Ya, 27 April 2010 adalah hari perjalanan terakhir KA Parahyangan. Selama 39 tahun KA Parahyangan ulang-alik Bandung-Jakarta tiada henti tujuh hari/minggu. Kini, namamu tinggal kenangan. Memang, nama Parahyangan banyak penggunanya, tetapi KA Parahyangan hanya milik KA Parahyangan. Betul nama itu indah dibaca, syahdu didengar, anggun digunakan, juga mengandung nuansa sakral apalagi bagi penduduk atau insan yang berasal/berdarah Tatar Parahyangan.
Terima kasih KA Parahyangan atas ketekunanmu selama 39 tahun, yang diwarnai suka maupun duka. Suka karena engkau memang melayani kebutuhan masyarakat dan engkau datang tepat waktu, karena engkau telah membuka peluang kerja tak terbilang, dan engkau telah menorehkan jasa angkutan Bandung-Jakarta. Di sisi lain, banyak pula duka kau derita. Tubuhmu tak jarang menjadi sasaran tangan usil tak bertanggung jawab, wajahmu acap kali dilumuri cat tak dikehendaki, kacamu amat sering retak-retak kena lemparan batu orang-orang yang berjiwa kanak-kanak, benda tajam pun menyayat tempat duduk yang kau perindah demi kenyamanan penumpang, lebih parah lagi masinis yang mengendalikanmu terpaksa kehilangan mata kena lemparan batu.
Meskipun telah berguna (aku enggan menyebutmu ”berjasa”), amat banyak hujatan kau terima. Para insan yang terlibat langsung pada perkeretaapian, sudah habis akal bagaimana menjelaskan duduk perkaranya bila terjadi petaka. Apabila ada ”perkara” dengan kereta api, maka kesalahan hampir selalu dialamatkan pada kereta api, kurang inilah, kurang itulah, salah urus inilah, salah urus itulah, semua ke alamat kereta api. Bus ”menghajar” kereta api pun yang disalahkan sang kereta api, bukan sopir bus yang sembrono dan ugal-ugalan. Sasaran umpatan kepada alamat kereta api: mengapa perlintasan tidak dijaga, mengapa tidak ada pintu lintasan, mengapa kereta api tidak direm, mengapa begitu, mengapa begini, dan sebagainya, dan sebagainya.
Insan perkeretaapian rasanya sudah geram berat, dengan segala lemparan kesalahan yang menimpa perkeretaapian kita, sementara derita yang dialami kereta api beserta insan perkeretaapian kita rupanya tak begitu digubris oleh masyarakat. Pengguna jasa menuntut kereta api harus bersih, tempat duduk harus nyaman, peturasan harus terawat, pintu harus bisa dibuka tutup lancar, penumpang harus tidak berdesak-desak seperti pindang, manajemen harus dibenahi, dan masih sederet tuntutan yang semuanya tidak salah. Pertanyaannya, benarkah begitu? Tidak salah, tetapi bisa tidak benar. Cobalah ditelusuri, siapa yang mengganjal pintu otomatis, siapa yang membawa pulang kran peturasan, bonek itu siapa, siapa yang ----- macam-macam lagi.
Upayamu bersaing dengan Cipularang, terhalang oleh jalan rel yang memang kurang. Tak mungkin engkau memacu diri pada rel yang berliku-liku di dataran tinggi. Upaya membangun rel ganda ternyata ketinggalan oleh pembangunan jalan raya. Kebijakan pembangunan sistem perangkutan belum berpihak kepadamu. Gagasan, analisis, dan rencana cukup banyak di halaman kertas dan lama di dalam lemari, sampai kini belum membumi.
Rel tempatmu melaju sudah uzur, rodamu yang membawamu lari sudah aus, engkau selalu dipacu tetapi kurang jamu (baca: perawatan), pemilikmu (baca: rakyat) hanya pandai menuntut hak kurang paham kewajiban, stasiun tempatmu mengaso sambil menaikturunkan penumpang tentu tak nyaman bagimu, karena siapa pun bisa menginjak pintumu dan masuk ke perutmu. Kini, engkau telah lelah meskipun usiamu baru 39 tahun belum tua dibandingkan dengan rekanmu di negara lain. Terima kasih KA Parahyangan.
Kututup terima kasihku padamu untuk mengenangmu KA Parahyangan, dengan bersenandung bait kedua lagu Kereta Api (kebetulan masih ku- ingat):
Cepat keretaku jalan, tut, tut, tuuuuut; baaaaanyak penumpang turut.
Keretakuuuuu sudah sudah penat; jalan pun sudah mulai payaaaaah.
Di sini ia ‘kan berhentiiiii, akan melepaskan lelaaaaah.
Selamat tidur KA Parahyangan, sayangku, suatu saat bangunlah, semoga adikmu KA Argo Gede masih mampu ulang alik Bandung-Jakarta, minim derita sembari menunggu rel ganda menjadi nyata.***
Penulis, pemerhati angkutan dan lalu lintas.
Yang menjadi perhatian adalah bait lagu yang diberi italic di atas. Iya ya, Ambu juga baru inget kalau ada bait kedua dari lagu itu, yang sangat jarang dinyanyikan. Dan ... pas banget dengan keadaan Parahyangan. Berhenti. Melepas lelah. Moga saja suatu ketika bisa dibangunkan lagi T_T
Daaaan, kapan ya Ambu bisa naik ini:
Megaprojek Kereta Api Haramain (1)
Arab Saudi Bangun Jaringan Kereta Api Senilai Rp 21 Triliun
Para jemaah haji tahun 2012 insya Allah akan merasakan nikmatnya naik Kereta Api Haramain (dua tanah suci). Jaringan rel kereta api modern itu akan terbentang dari Jeddah ke Madinah ke Mekah. Pada musim haji di Mekah, kereta akan melayani rute Arafah-Mudzalifah-Mina. Dengan adanya kereta itu, kemacetan yang biasa terjadi di kawasan ini sejak 8 Zulhijah (hari tarwiyah) hingga 13 Zulhijah (nafar tsani) akan teratasi.
Selama ini, dari Mekah jemaah haji biasanya langsung ke Arafah atau menginap (mabit) dulu di Mina pada 8 Zulhijah, menggunakan bus secara taraduddi (shuttle) atau ”tunda karayap”. Kegiatan antar-jemput kadang-kadang menimbulkan keterlambatan akibat macet di perjalanan pulang dan pergi.
Peletakan batu pertama pembangunan megaprojek jaringan kereta-api tersebut telah dimulai sejak 10 Maret 2009, seusai musim haji 2008. Sekarang sudah mulai pemasangan tiang-tiang pancang. Para jemaah umrah tahun 2010, yang berziarah ke Masya`ir Muqaddasah (Arafah, Mudzalifah, Mina), sudah dapat menyaksikan tiang-tiang yang akan mulai dipasangi rel tahun ini juga, hingga selesai pertengahan 2012.
Oleh karena itu, para calon jemaah haji Indonesia yang mendapat daftar tunggu hingga 2012 perlu bersyukur. Pasalnya, merekalah yang akan pertama kali naik kereta-api dari Mekah ke Arafah atau Mina dengan mengenakan kain ihram. Mereka akan menempuh perjalanan sekitar dua puluh menitan tanpa harus berdesak-desakkan di atas bus yang kadang-kadang tersesat. Maklum, sopirnya sopir tembak yang tak tahu lapangan dan dibimbing oleh mursyid (penunjuk jalan) yang sama tidak tahunya. Tak heran kalau ada jemaah dari Mekah yang berangkat pukul 17.00 waktu setempat, baru tiba di Arafah lewat tengah malam.
Menurut Arab News dan kantor berita Arabi Saudi, SPA, megaprojek jaringan kereta api senilai 6,79 miliar riyal Saudi (Rp 21 triliun) itu, pada tahap awal akan mengutamakan kawasan Masya`ir Muqaddasah berkaitan dengan pelayanan ibadah haji. Sesuai dengan perintah raja yang bergelar Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci). Tahap selanjutnya menuntaskan jaringan antarkota, dimulai dari Jeddah-Mekah-Madinah.
Pembangunan digarap konsorsium yang melibatkan kontraktor-kontraktor Al Arab dan delapan belas perusahaan Cina. Penyediaan baja rel dipercayakan kepada pabrik baja lokal Ar Raji yang sudah berpengalaman memasok besi dan baja untuk projek-projek infrastruktur di seluruh Arabi Saudi.
Menteri Keuangan Arabi Saudi Dr. Ibrahim Al Assaf dan Menteri Transportasi Dr. Jabari as Seraisry, menerangkan kepada pers, kereta api yang akan dipergunakan kelak adalah model TGV Prancis, yang mampu melaju dengan kecepatan 320 km/jam. Dengan demikian, dari Bandara King Abdul Aziz ke Mekah hanya perlu waktu dua puluh menit.
Sementara perjalanan Jeddah-Madinah atau Madinah-Mekah, yang berjarak sekitar 450 km, hanya satu jam setengah. Bandingkan dengan naik bus, Jeddah-Madinah dapat ditempuh rata-rata 1-2 jam. Jeddah-Madinah dan Mekah-Madinah rata-rata lima jam.
Tentu saja ada yang hilang dari pengalaman para jemaah haji, jika transportasi kereta api sudah diberlakukan, yaitu pemandangan sepanjang perjalanan berjam-jam dari Mekah-Madinah, Jeddah-Madinah, dan sebaliknya. Hamparan padang pasir, gunung-gunung batu, perkemahan kaum Baduwi dengan ratusan unta dan kambing di sekitarnya. Lalu lembah-lembah gersang yang membentuk sungai yang disebut wahah, serta oase-oase sejuk rimbun di wadi (sungai atau sumur penuh air).
Pemandangan yang berharga untuk muhasabah (introspeksi), merenung mengenai kondisi tanah air yang mulai gundul. Kehilangan hutan akibat pembalakan liar yang sulit diatasi dan terus berlarut-larut. Jika Indonesia berubah menjadi padang pasir seperti Arab Saudi, bagaimana? Ya, tentu jatuh miskin semiskin-miskinnya.
Arab Saudi tak punya pohon dan hutan andalan. Akan tetapi, di bawah bumi mereka terhampar jutaan barel minyak bumi, gas, dan mineral lainnya yang tak akan habis hingga 300-500 tahun ke depan. Bahkan, Robert Lacey, penulis The Kingdom of Petro Dollars (1979) menyatakan, kekayaan bawah tanah Kerajaan Arab Saudi semakin digali semakin bertambah jumlahnya. Itu dihubungkan dengan penemuan sumur-sumur minyak baru dan mineral-mineral berharga lain.
Dana 6,79 milar riyal Saudi tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kekayaan Arab Saudi yang sudah tergali dan termanfaatkan untuk pembangunan yang dapat dinikmati semua pihak. Sebagai Khadimul Haramain, Raja Arab Saudi, sejak Ibnu Saud (pendiri Dinasti Saudi Arabia) hingga Raja Abdullah sekarang, sangat bermurah hati mengeluarkan dana demi kepentingan para penghuni, pengunjung, dan jemaah Tanah Suci, Apalagi, pada musim haji, menyambut ”Duyufur Rahman” (tamu Allah) benar-benar harus sempurna di segala bidang. Termasuk kelancaran transportasi yang segera terwujud dalam jaringan kereta api modern yang nyaman dan cepat. (H. Usep Romli H.M.)***