Masya Allah,
21 korban tewas di Pasuruan saat mengantri pembagian zakat yang jumlahnya nggak lebih dari Rp 40.000. Semua korban perempuan. Dan masih ada sejunlah korban lain yang luka-luka. Saksi mata melaporkan, tidak ada aparat kepolisian saat pembagian itu.
Sebagian pihak menyayangkan peristiwa itu, kenapa nggak dibuat lebih teratur, kordinasi dengan RT/RW setempat, kordinasi dengan kepolisian, diatur jadwal pembagiannya. Ada juga yang menyarankan agar zakat diberikan saja ke BAZ setempat (yang notabene adalah lembaga pemerintah).
Pertama, kenapa nggak kordinasi? Di jaman seperti sekarang, pembagian seperti itu akan mengundang kerumunan orang yang banyak. Minimal harus kordinasi ke RT/RW, dan keamanan setempat. Buat jadwalnya, bagikan kupon, buat sistem agar antri. Nah ini yang susah: antri.
Kedua, BAZ. Kenapa hanya BAZ? Kenapa nggak bilang: lembaga penyaluran zakat. Kenapa harus menyebut BAZ dengan jelas, seolah-olah segala milik pemerintah itu lebih terkordinir. Padahal ada banyak lembaga penyaluran zakat lain yang jauh lebih terkordinir.
Ketiga, kenapa korbannya perempuan semua? Karena perempuanlah sebenarnya tiang keluarga, terutama di kalangan ekonomi lemah sekarang ini. Laki-laki mencari nafkah, dan perempuan mencukupkannya. Yang jelas, untuk kalangan ekonomi bawah, nafkah yang dibawa laki-laki itu tentu saja tidak mencukupi. Mencukupkannya bagaimana? Kalau ada apa saja yang bisa diuangkan, mereka akan datang. Tentu saja pembagian zakat seperti ini menjadi sasaran. Walau hanya berkisar dari 10.000-40.000, itu lebih dari lumayan untuk menjaga dapur tetap ngebul.
Masya Allah. Masya Allah ... Kenapa ini terus berulang setiap tahun, tiap Ramadhan pasti ada kerumunan nggak terkodinir, dan puncaknya tahun ini dengan korban segitu banyaknya ... Dan kadang suka suudzon, para muzaki itu suka membagi-bagikan zakat biar kelihatan kaya dan murah hati. Seperti Sinterklas, gitu. Biar kelihatan, gua kaya, elo miskin, nih gua kasih serebu ... Astaghfirullahal adzim...
Kenapa nggak berlaku seperti (nyebut nama) Dompet Dhuafa, KPKU, dll, yang kreatif mengadakan program bantuan untuk mereka yang tak berpunya: rumah bersalin gratis, sekolah gratis, paket sembako, mukena, Al Quran .. Ini terus saja terngiang-niang: di rumah Al Quran ada berapa mushaf, banyak banget, lebih dari seorang satu kalau dibagiin, sedang di keluarga-keluarga muslim ekonomi bawah itu ... kalau mau lihat Al Quran saja mesti ke mesjid. (Jangan bandingkan dengan kemampuan untuk beli tabloid gosip)
Inget aja dulu kalau puasa, pasti kita nyetel radio (jaman belum ada Para Pencari Tuhan *ditakol* atau banyolan ga lucu di tipi) acara-acara Abah si Kundang, atau sejenisnya, pasti banyak yang minta bantuan, terutama mukena, bantuan buat bayarin uang sekolah karena ijasahnya ditahan, dll. Kadang suka bosen dengerinnya, karena, kalau pertanyaan, pasti isinya: kalau bukan puasa boleh tahajud nggak, gimana tata caranya, sedang kalau permintaan bantuan isinya: mukena. *ditakol kaum dhuafa*
Nyerempet Para Pencari Tuhan, seperti biasa Ambu nggak bisa nonton penuh, baik yang subuh maupun yang sore. Semua bertabrakan dengan kesibukan menyiapkan buka/saur. Tapi, ya lumayanlah, bisa nonton sepotong-sepotong.
Ini acara nyenggol-nyenggol banyak masalah agama, tanpa berkesan menggurui. Sekarang aja lagi ada si Tora Sudiro (jadi siapa sih dia, nggak kedengeran namanya :P) preman bertato yang pengen buka warung tuak. Senengnya, bumbu hubungan antara Aya (Zaskia Mecca) dengan Azzam (Agus Kuncoro),
chemistry-nya bagus banget. Nggak seperti sinetron-sinetron nggak mutu yang menghamburkan adegan peluk-cium cewek-cowok bukan muhrim hanya untuk mengatakan: Cewek A ini jatuh cinta pada cowok B, yang teuteup aja nggak kelihatan gimana jauth cintanya karena aktingnya payah, sedang di PPT ini, Aya sama Azzam itu sama sekali nggak bersentuhan.
Padahal mereka dilukiskannya suka berantem. Tapi malu-malu mau :P Lihat saja waktu Azzam nelepon (adegan nelepon dari mobil juga pake hands free, bagus tuh! Nggak mencontohkan adegan yang salah), berantem tentang apa gitu, di akhir telepon Aya bilang—dengan suara dikecilkan—
’jangan telat makan ya’. Trus kamera ngeliatin Azzam, nggak ngomong apa-apa, tapi keliatan salting.
Trus waktu di kantor penerbit-nya Azzam. Aya mengeluh kalau Azzam berubah, dia juga harus berubah. Dia berubah itu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan Azzam. Si Azzam-nya nggak bisa ngomong apa-apa, cuma ngeliatin aja terpana, beberapa detik. Aya negur, sampai Azzam-nya gelagapan, trus dia berdiri. Sebelum masuk ke kamar kerjanya, dia bilang, ‘
saya selama tiga detik tadi, kok kaya’nya sayaaaaang banget sama kamu’
Kelepek-kelepek beneran.
Adegan-adegan seperti itu memunculkan
chemistry antara keduanya. Pemirsa bisa mengambil kesimpulan. Dan itu susah, pemain harus jagoan, menyampaikan maksud tersurat tanpa banyak ngomong. Bukan: cowok meluk cewek, aku cinta padamu, hueeks! *muntah*
Dan pemain-pemain sinetron kita ga ada yang bisa seperti itu. Bisa dihitung dengan jari, kalau mau dibilang.
*****
Er, orang Islam itu kan nggak boleh minum/makan darah kan ya? Bagaimana kalau ada vampir yang muslim ya? Orang suka menggambarkan vampir yang baik, tidak minum darah manusia, hanya darah binatang. Istilahnya vampir vegetarian. Tapi, kalau muslim kan sama sekali nggak boleh minum darah. Makan daging yang masih terlihat darahnya aja nggak boleh. Jadi, kalau ada seorang vampir yang masuk Islam, dia makan apa dong?
*ditakol Edward Cullen*
*****
Anak-anak suka protes: Mbu, di iklan-iklan yang di tipi itu, anak-anak dilukiskannya, kalau mau buka tuh, begitu adzan atau bedug, langsung ”Bukaaaaa! Bukaaaa!” dan mereka berbuka tanpa baca doa dulu.
Hehe, soalnya kalau di rumah, begitu adzan di mesjid terdekat, atau di televisi terdekat (:P) biasanya Ambu atau Abah selalu teriak, ”
Allahumma laka shumtu, wa bika amantu .. ayo semuanya...” Jadi kebiasaan, mau buka, baca doa dulu.
Dan akibatnya jadi protes begitu. Alhamdulillah *peluk-peluk anak-anak*
*****
Umat Islam itu punya sumber pahala yang terus mengalir walau dia sudah meninggal: amal jariyah. Misalnya, seorang guru mengajarkan sebuah ilmu pada seorang murid. Selama murid itu mengamalkan ilmu itu, walau si guru sudah meninggal, pahalanya akan terus mengalir.
Juga kalau seorang menanam pohon. Selama pohon itu hidup, dia mengalirkan pahala bagi penanamnya: oksigen yang dihasilkan, keteduhan, buah kalau itu pohon buah, dan seterusnya. Tapi kalau pohon itu ditebang, berhentilah aliran pahalanya.
Kemarin di Pikiran Rakyat ada kolom yang membahas tentang orang yang menzalimi orang lain karena dia menebang pohon sewenang-wenang. Kok bisa?
Di Bandung ini (mungkin di kota lain juga banyak) ada banyak orang yang suka ‘membunuh’ pohon dengan cairan kimia (minyak tanah, dsb) agar pohonnya mati, dan ia bebas menebang pohon itu, karena pohon itu membuat jalan masuk ke tanahnya terhalang. (Ya, jangan bikin jalan masuk di daerah itu atuh, kan dari dulu udah ada si pohon berdiri di situ!). Penulis kolom itu mengingatkan: pembunuh pohon itu sama saja dengan mematikan aliran amal jariyah dari orang yang menanam pohon itu. Dia sudah berbuat zalim, satu pada pohon, dua pada orang yang menanam pohon itu. Dia seharusnya menanam pohon gantinya dan menggantikan pahala penanam pohon itu, berikut menanggung dosanya sebagai ’penghenti amal jariyah’ orang lain...
Belum lagi sumbangannya pada global warming ...