(Hari ini Ambu masukin tiga entry sekaligus *lirik
Herda*)
Homeschooling. Sekarang jadi populer. Banyak orang yang mencobanya.
Tapi tidak kaya’nya kalau untuk Ambu sih.
Kenapa?
Mari kita lihat menurut pandangan Ambu. POV Ambu lho, jadi silakan saja punya pandangan sendiri. Urutan tidak berdasarkan penting-tidaknya.
1. BiayaBiaya yang kita keluarkan untuk sekolah biasa, bisa kita hitung. SPP, antar jemput, uang saku anak-anak. Bisa kita hitung, bisa kita perkirakan, dan bisa kita cari. Kalau kita mau sekolah di SD XYZ, uangnya cukup tidak? Dsb.
Kalau homeschooling, tentu saja tidak cukup dengan hanya berada di rumah, membaca, dan mengerjakan pekerjaan rumah. Kita harus keluar rumah, untuk pergi ke komunitasnya. Kita harus pergi ke mana-mana untuk mendapatkan ‘pengalaman bersosialisasi’.
Dan ini, menurut Ambu, ga bisa diperhitungkan. Kecuali kalau kita memang bergelimang uang, tentu saja bisa. Kalau kita termasuk orang biasa-biasa saja yang memperhitungkan keuangan dengan ketat, dengan rencana, tentu saja tidak bisa.
2. SosialisasiAnak harus bersosialisasi. Anak harus punya teman.
Orang bisa bilang: lha, homeschooling kan bukan berarti tidak punya teman.
Ya, tapi harus dicari. Artinya, harus pergi ke komunitas, harus pergi ke sana-kemari. Sedang dalam sekolah biasa, dengan si anak datang ke sekolah saja, dia bisa punya teman yang banyak. Kalau anaknya terbuka, dia bisa berteman dengan seluruh isi sekolah termasuk dengan penjaga sekolah, satpam, dan bibi penjual nasi gorengnya ^_^ Tapi kalau anaknya tertutup pun, dengan bersekolah biasa dia bisa punya teman, minimal satu.
Kalau diterapkan pada anak Ambu, Daffa itu mudah sekali punya teman. Pergi ke toko, Ambu-nya sibuk liat harga karpet, dia malah asyik main dengan ‘teman baru’ yang ibunya juga lagi sama-sama liat harga karpet ^_^. Tapi tidak berlaku pada Diva. Dia harus bergaul dengan orang-orang yang sama untuk beberapa lama, baru dia bisa punya teman.
Sejalan dengan pemikiran mbak
Syafrina, sosialisasi juga harus memasukkan unsur yang tdiak kita kehendaki. Anak harus pernah mengalami berkelahi (terutama laki-laki, kalau perempuannya mungkin bertengkar, ya), dimusuhi, menangis, dimarahi guru dan entah apalagi, untuk perkembangan emosinya.
Bagaimana kalau dengan homeschooling? Dengan komunitas yang berjumlah (relatif) kecil, akan susah mengalami hal-hal di atas. Contoh berikut: anak berkelahi. Lalu dia musuhan dengan lawan berkelahi itu. Dia sama sekali nggak mau
‘ngalieuk-lieuk acan’ sama anak itu. Di sekolah biasa, dia akan dengan mudah menemukan teman lain. Dalam komunitas homeschooling, berkelahi/bertengkar akan membuatnya jadi tidak mau datang lagi ke komunitas bersangkutan. Itu pikiran Ambu.
3. Anak tidak boleh manjaBiasanya anak homeschooling karena tidak mau berurusan dengan guru yang galak atau sejenisnya. Masalah kurikulum yang tidak masuk akal, pelajaran yang terlalu banyak/berat, kalau homeschooling bisa mengatur waktu sendiri (contoh: Eva Celia anaknya Sophia Latjuba).
Kalau menurut Ambu, di sinilah si anak belajar. Bukan belajar IPA atau Matematika, ya, tapi belajar kehidupan.
Bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan itu tidak indah, semua yang kita inginkan bisa saja tidak terjadi. Kalau ada yang tidak kita inginkan, bisa kita hindari. Guru galak dan tidak masuk akal, pelajaran terlalu banyak dan membosankan, itu tidak akan terjadi.
Itu bukan kehidupan!
Kehidupan yang harus kita ajarkan pada anak, adalah: Tidak semua yang kita inginkan akan terjadi.
Ada guru yang galak di sekolah. Bagaimana kita bisa menyiasatinya.
Bagaimana dengan pelajaran yang terlalu banyak? Kita harus menyiasatinya.
Pelajarannya tidak berguna, kalau homeschooling, kita bisa memilih. Bagaimana kita tahu? Siapa yang akan tahu pelajaran X dan Y akan berguna kelak di masa datang?
Dan sementara itu anak akan belajar, bahwa dia semakin besar, dia dituntut untuk menyiasati hidup itu supaya dia bisa hidup dengan enak. Anak seorang kaya bisa meminta apa saja yang dia inginkan, tetapi kalau orangtuanya sudah tidak ada, seperti apa kehidupannya kelak? Sedangkan anak yang diajarkan untuk menerima apa yang ada, dan menyiasatinya, akan hidup dengan enak, seperti apapun keadaan ekonominya. Ia akan menikmati hidup, miskin atau kaya.